Senin, 29 Juni 2015
ARTI SEBUAH UJIAN
Seorang mandor bangunan yg berada di lt 5 ingin memanggil pekerjanya yg lagi bekerja di bawah.
Setelah sang mandor berkali-kali berteriak memanggil, si pekerja tidak dapat mendengar karena fokus pada pekerjaannya dan bisingnya alat bangunan.
Sang mandor terus berusaha agar si pekerja mau menoleh ke atas, dilemparnya Rp. 1.000- yg jatuh tepat di sebelah si pekerja.
Si pekerja hanya memungut Rp 1.000 tsb dan melanjutkan pekerjaannya.
Sang mandor akhirnya melemparkan Rp 100.000 dan berharap si pekerja mau menengadah "sebentar saja" ke atas.
Akan tetapi si pekerja hanya lompat kegirangan karena menemukan Rp 100.000 dan kembali asyik bekerja.
Pada akhirnya sang mandor melemparkan batu kecil yang tepat mengenai kepala si pekerja. Merasa kesakitan akhirnya si pekerja baru mau menoleh ke atas dan dapat berkomunikasi dengan sang mandor...
Cerita tersebut di atas sama dengan kehidupan kita, Allah selalu ingin menyapa kita, akan tetapi kita selalu sibuk mengurusi "dunia" kita.
Kita diberi rejeki sedikit maupun banyak, sering kali kita lupa untuk menengadah bersyukur kpd NYA
Bahkan lebih sering kita tidak mau tahu dari mana rejeki itu datang···
Bahkan kita selalu bilang ··· kita lagi "HOKI!"
Yang lebih buruk lagi kita menjadi takabur dengan rejeki milik Allah.
Jadi jangan sampai kita mendapatkan lemparan "batu kecil" yg kita sebut musibah ...! agar kita mau menoleh kepada-NYA.
Sungguh Allah sangat mencintai kita, marilah kita selalu ingat kepada NYA sebelum Allah melemparkan batu kecil seperti kisah di atas.
Minggu, 28 Juni 2015
Kajian al-Hikam 29
Hikmah ke 29 ;
طلبُك منه اتّهامٌ له ، وطلبك له غيبة عنه منك ، وطلبك لغيره لقلةِ حيائك منه ، وطلبك من غيره لوجود بُعدك عنه
Permintaanmu dari Allah mengandung pengertian menuduh Allah, kuatir tidak memberi kepadamu. Dan mintamu kepada Allah supaya mendekat dirimu kepadaNya, berarti engkau masih merasa jauh daripadaNya. Dan mintamu kepada Allah untuk mencapai kedudukan dunia akhirat, membuktikan tiada malumu kapadaNya. Dan permintaanmu kepada sesuatu selain dari Allah menunjukkan jauhmu daripadaNya.
Permintaan seorang hamba kepada Allah terbagi dalam empat macam, dan kemudian kesemuanya itu tidak tepat bila diteliti lebih jauh dan mendalam.
Permintaan kepada Allah mempunyai pengertian menuduh, sebab sekiranya ia percaya bahwa Allah akan memberi tanpa dipinta, tidak akan minta, maka karena kuatir tidak diberi apa yang dibutuhkannya menurut pendapatnya, atau menyangka Allah melupakannya, dan lebih jahat lagi bila ia merasa berhak, tetapi oleh Allah belum juga diberi.
Dan permintaanmu untuk taqorrub, menunjukkan bawha engkau merasa ghaib daripadaNya.
Sedangkan permintaanmu sesuatu dari kepentingan-kepentingan duniawi membuktikan tiada malu kepadaNya, sebab sekiranya engkau malu tentu tidak merasa ada kepentingan bagimu selain mendekat kepadaNya.
Sedangkan bila engkau minta dari sesuatu selain Allah, membuktikan jauhmu daripadaNya, sebab sekiranya engkau mengetahui bahwa Allah dekat kepadamu tentu engkau takkan minta kepada selainNya.
Kecuali permintaan yang semata-mata untuk menurut perintah Allah. Hanya ini lah yang tepat benar
Kajian al-Hikam 26-27
Hikmah ke 26:
إحالتك الأعمالَ على وجود الفراغ مِن رُعوناتِ النفس
Menunda amal perbuatan (kebaikan) karena menantikan kesempatan yang lebih baik adalah termasuk tanda kurang akal (kebodohan) yang mempengaruhi jiwa.
Kebodohan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa jalan:
1. Karena ia mengutamakan duniawi, padahal Allah berfirman;
بل تؤثرون الحياة الدنيا والآخرة خير وابقى
Tetapi kamu mengutamakan kehidupan dunia, padahal akhirat itu lebih baik dan kekal selamanya.
2. Penundaan amal itu kepada masa yang ia sendiri tidak mengetahui apakah ia akan mendapatkan kesempatan itu, atau kemungkinan ia dilanda oleh ajal (mati) yang telah menantikan masanya.
3. Kemungkinan 'azam, niat dan hasrat itu menjadi lemah dan berubah.
Kata pujangga:
لا تؤجّل الى الغد ما يمكنك أن تعمله اليومَ
Jangan menunda sampai besok, apa yang dapat engkau kerjakan hari ini.
الوقت ثمين فلا تضيّعه إلا فى نفيس
Waktu sangat berharga, maka jangan engkau habiskan kecuali untuk sesuatu yang berharga.
Hikmah ke 27:
لا تطلب منه ان يُخرجك من حالة لِيستعمِلك فيما سواها فلو أرادك لاستعمَلك من غير إخراج
Jangan anda meminta kepada Allah supaya dipindah dari suatu hal kepada yang lain, sebab sekiranya Allah menghendakinya tentu Dia telah memindahmu, tanpa merobah keadaanmu yang lama.
Dalam hikayat: Ada seorang yang salih biasa bekerja dan beribadah, lalu ia berkata; Andai aku bisa mendapatkan untuk tiap hari dua potong roti, niscaya aku tidak susah bekerja dan melulu beribadah. Tiba-tiba ia tertuduh dan karenanya ia harus masuk penjara, dan tiap hari ia menerima dua potong roti, kemudian setelah beberapa lama ia menderita dalam penjara, ia berpikir; Bagaimana sampai terjadi demikian? Tiba-tiba ia teringat dalam perasaannya: Engkau minta dua potong roti, dan tidak minta selamat, maka kami (Allah) memberi permintaanmu.
Setelah itu ia minta ampun dan membaca istighfar, maka ketika itu pula pintu penjara terbuka dan dilepaskan dari penjara.
Sebab Allah menjadikan manusia dengan segala hajat kebutuhannya, sehingga tidak usah manusia kuatir atau ragu dan jemu terhadap sesuatu pemberian Allah, meskipun bentuk penderitaan balai pada lahirnya, sebab hakikatnya nikmat besar bagi siapa yang mengetahui hakikatnya, sebab tidak ada sesuatu yang tidak terbit dari rahmat karunia dan hikmat Allah Ta'ala.
Jumat, 26 Juni 2015
Kaligrafi di area makam Rosulullah Part I
Baba Naheel - madinah
Sesiapa saja yang sudah sholat di Rawdloh atau ke area makam Rasulullah pasti melihat sekilas kaligrafi yang sulit terbaca dalam foto ini. Perhatikan yang disebelah kanan tiang (tiang sarir) tulisan kuning berlatar hijau.
Itu adalah penggalan Qosidah pujian atas Nabi yang terkenal dan sering dilantunkan dalam acara2 yang bernuansa Mawlid. Ini tertulis dibagian atas jeruji Makam Rasulullah bagian barat (batas rawdloh).
Berikut teksnya:
يا مــن يقومُ مقــامَ الحمــدِ منفردًا * للواحـــــدِ الفردِ لـم يولــد ولـم يلــدِ
Artinya:
"Wahai Engkau seorang diri yang mendapatkan kedudukan terpuji pada Dzat Yang Maha Esa nan Tunggal yang Tak dilahirkan dan Tak pula melahirkan".
Konon yang melantunkan Syair/Qosidah bahr Basith ini adalah Sultan Abdul Hamid Khan bin Sultan Ahmad Khan.
Syair lengkapnya ini tertulis dikitab turki lama yang berjudul "Mir'atul Haromain" milik Syaikh Ayub Shobri Basya.
Adapun kaligrafi sebelah kirinya itu telah dicat hijau keseluruhannya sehingga tidak jelas dan sulit terbaca.
Kaligrafi di area makam Rosulullah Part II
Baba Naheel - madinah
Sesiapa saja yang sudah sholat di Rawdloh atau ke area makam Rasulullah pasti melihat sekilas kaligrafi yang sulit terbaca dalam foto ini. Perhatikan yang disebelah kanan tiang (tiang harits) tulisan kuning berlatar hijau.
Itu adalah penggalan Qosidah pujian atas Nabi yang terkenal dan sering dilantunkan dalam acara2 yang bernuansa Mawlid. Ini tertulis dibagian atas jeruji Makam Rasulullah bagian barat (batas rawdloh).
Berikut teksnya:
يا مــن تفجّرت الأنهـــارُ نابعةً * من إصبعيهِ فروّى الجيــشَ بالمــدد
Artinya:"Wahai orang yang memancarkan anak sungai yang deras nan segar dari jemarinya. Sehingga ia memuaskan dahaga banyak tentara".
Konon yang melantunkan Syair/Qosidah bahr Basith ini adalah Sultan Abdul Hamid Khan bin Sultan Ahmad Khan.
Syair lengkapnya ini tertulis dikitab turki lama yang berjudul "Mir'atul Haromain" milik Syaikh Ayub Shobri Basya
Senin, 22 Juni 2015
Rendah Hati (Tawadl'u)
~* Belajar tawadhu' (Rendah Hati) dari petikan al-hikam syekh ibnu athoillah *~
بسم الله الرحمٰن الرحيم
Hari demi hari, seiring berjalannya waktu, tubuh ini semakin bertambah bobotnya, tulang-tulang pun bertambah kuat, hingga tumbuh menjadi seorang dewasa, mampu berkarya dan menjadi generasi penerus bangsa. Namun, kita tak boleh lupa, semua yang terjadi dalam diri dan hidup kita adalah atas izin dan kehendakNya. Kita bisa menjadi orang yang berpendidikan dan sukses atas Pertolongan, Rahmat dan Kasih Sayang Allah SWT. Dan kita tak akan pernah bisa melakukan semua hal sekecil apapun itu tanpa PertolonganNYA. Lalu apa yang bisa kita banggakan dari diri yang lemah dan tak berdaya ini…??
Andaikata kita bisa benar-benar bisa menempatkan diri ini secara tepat dalam hidup, niscaya hidup akan terasa ringan, indah dan barokah. Sayangnya, kadang tak ada waktu untuk mengenal diri, sehingga kita merasa lebih dari kenyataan atau lebih rendah dari karunia Allah SWT.
Dalam Kajian kitab Al Hikam di sebutkan :
ادفن وجودك في ارض الخمول فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتائجه
“Tanamlah dirimu dalam tanah kerendahan, sebab tiap sesuatu yang tumbuh tapi tidak di tanam, maka tidak sempurna hasil buahnya”
Rasulullah SAW Bersabda :
من تواضع رفعه الله ومن تكبر وضعه الله
”Barang siapa yang merendahkan diri (Tawadlu’) maka Allah akan mengangkat derajatnya dan barang siapa takabbur (sombong) maka Allah akan merendahkannya”
Sahabat fillah… Akar yang menghujam ke dalam tanah, membuat pohon kian kuat. Tapi, pohon yang akarnya jauh dari tanah, jika di siram air, pohon akan rontok. Semakin dalam pohon itu menghujam ke dalam tanah, maka semakin kokoh pula pohon itu, meskipun angin dan hujan menerpanya maka tidak akan goyah.dan tampaknya orang-orang yang benar-benar menikmati buah hidup dari amal adalah orang-orang yang tawadlu’ (rendah hati) :)
Ikhwah fillah.... Banyak beramal tidak berarti langsung selamat, banyak sekali tipu daya dan cobaan yang menghadangnya, diantaranya ;
Tipu daya sebelum beramal yaitu enggan untuk beramal, niat yang salah, ingin di puji amal kebaikannya dll.
Tipu daya saat beramal yaitu enggan menyempurnakan amalnya, ingin tidak tuntas dll.
Tipu daya setelah beramal yaitu menjadi ujub (bangga diri merasa paling beramal dll.
Sungguh semua ini benar-benar butuh perjuangan. Syekh Ibnu Athaillah menganjurkan untuk tawadlu’. Tanam di dalam bumi, rendahkan hati agar sempurna amalnya.
Jika ingin mengenal dan belajar untuk tawadlu’, ada beberapa rahasia yang perlu diketahui, diantaranya :
1. Kita harus selalu sadar, bahwa yang membuat kita beramal bukanlah kita tapi taufiq Allah SWT. Misalnya, dalam hal shodaqoh.., uangnya dari mana? dari Allah, kemudian atas izin Allah datanglah seorang pengemis atau seorang miskin yang sangat membutuhkan pertolongan Allah lewat HambaNya, dan kemudian diberilah uang itu pada orang yang membutuhkannya, kita harus ingat bahwa skenario ini sudah di atur oleh Allah. tanpa pertolonganNya, kita tak akan bisa beramal sekecil apapun itu. Jadi jangan di ingat-ingat amal baik kita. Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adziim.
Syekh Ibrohim bin Adham ra. seorang ahli hikmah berkata;
ما صدق الله من احب الشهرة
” Tidak benar-benar bertujuan kepada Allah, siapa yang ingin masyhur atau terkenal.
Syekh Ayyub Asyakhtiyani ra berkata :
واللهِ ما صدق الله عبد الا سره أن لا يشعر بمكانه
Demi Allah, tiada seorang hamba yang sungguh-sungguh ikhlash kepada Allah melainkan ia merasa senang, gembira jika ia tidak mengetahui kedudukan dirinya.
Jika kita merasa beramal itu adalah ciri-ciri kurang ikhlash, apalagi merasa ikhlash. Orang yang merasa ikhlash dan ingin diketahui keikhlashannya berarti belum ikhlash, karena ia masih butuh orang lain untuk mengetahui keikhlashannya, dia senang di ketahui bahwa dia ikhlash, itu berarti dia belum benar-benar ikhlash. Ikhlash itu seperti surat Al Ikhlash yaitu tidak ada kata Ikhlash di dalam surat itu.
2. Lupakan siapa diri kita. misalnya kita seorang sarjana, maka jangan di ingat sarjana kita, kalau kita ingat-ingat, maka nanti bisa menimbulkan keinginan agar orang-orang mengetahui kesarjanaan kita. Dimata Allah bukan sarjana yang penting, tapi amal yang ikhlash. Meskipun sudah banyak bershodaqoh, lupakan saja, kalau di ingat-ingat nanti kita jadi butuh di akui dan disebut-sebut. jika seorang pemimpin, maka jangan jangan sebut-sebut kepemimpinannya, begitu juga dengan ustadz/ustadzah, tak usah disebut, karena itu bisa merusak amal. Makin kita mengingat otoritas kedudukan kita, amal kita, maka kita akan semakin butuh di akui oleh makhluk dan semakin tidak ikhlash. Kalaupun mau ingat, maka ingatlah dosa-dosa kita, dosa mata, telinga, lisan dan lain sebagainya. Katakan pada diri sendiri :” Saya ini banyak dosa, kalau ngomong di tambah-tambah, bicara jarang ada yang benar, kadang dalam menyampaikan sesuatu pun bnyak yang belum ikhlash, ingin di anggap lebih bla.. bla .. bla. ” teruslah ingatkan diri akan dosa yang pernah di lakukan.
Makin tahu siapa diri kita, maka pujian orang pun tak akan membuat kita bahagia, karena tidak cocok dengan kenyataannya. begitu pula dengan penghinaan terhadap kita, tidak akan membuat kita terluka, sebab penghinaan itu biasanya (maaf) lebih bagus dari kehinaan kita yang sebenarnya. Maka latih terus diri ini untuk tawadlu’ (Rendah hati).
3. Tidak melihat orang lain lebih rendah dari diri kita. Setiap kita melihat orang lain, carilah titik kelebihannya. Lihat anak-anak, mereka lebih bersih dan lebih sedikit dosanya daripada kita. Lihat orang yang sedang belajar membaca Alqur`an, Subhanallah mereka membacanya dengan penuh hati-hati, setiap hurufnya di ucapkan dengan keikhlashan dan rasa malu kepada Allah. Lihat orang yang lebih tua, mereka lebih banyak melakukan amal daripada kita. Lihat Ibu, Tetesan darahlah yang akan mengangkat derajatnya, walaupun amalnya terbatas. Lihat orang bermaksiat, siapa tau setelah ini dia bertaubat dan menjadi hamba Allah yang terbaik karena taubatan nashuha. Lihat dan lihatlah kebaikan orang lain.
Kalau sudah terbiasa melihat kebaikan orang lain, senang dengan kelebihannya, kita hargai dan kita hormati, insyaAllah akan semakin jauh dari kesombongan dan makin dekat dengan keteguhan dan kesempurnaan amal-amal kita. Makin kita senang melihat kelebihan orang, jasa orang, senang menghormati orang lain, InsyaAllah makin tawadlu’.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah puncak kemuliaan/ kedudukan, seorang nabi terakhir dan pemimpin negara, tapi beliau adalah seorang yang sangat rendah hati, menyapa dengan ramah dan lembut pada siapapun serta penuh dengan rasa hormat. Tiada seorangpun yang menatapnya tanpa senyum di wajahnya, tidak membeda-bedakan tamu baik kaya ataupun miskin, beliau berjalan dengan suka cita untuk memenuhi undangan walaupun hanya sekedar dari hamba sahaya, tidak bangga dan tidak minder, dan masih banyak lagi sikap Nabi Muhammad yang menunjukkan rasa Tawadlu’nya.
Tidak ada jalan bagi kesombongan untuk jadi mulia. kerena ketinggian dan kemuliaan hanyalah milik orang-orang yang tawadlu’ (Rendah hati).
“Duhai yang Maha Mendengar, Ampunilah jika selama ini kami termasuk amat sombong dalam pandanganMU, ampuni jikalau kami sering membesar-besarkan diri kami dan meremahkan KeagunganMU, ampuni jika kami sering mendustakan kebenaranMU, ampuni jika kami meremehkan agamaMU. Ya Allah.. ampuni jika kami ENGKAU saksikan enggan menerima nasihat, Ya Allah ampuni segala ketakabburan kami, ampuni jika kami sering meremehkan orang-orang yang berkedudukan di sisiMU, ampuni jika kami sering merendahkan kaum dhuafa,… Yaa Rabb.., ampuni jika kami sering mencela dan menghina para ulama’, ampuni segala ujub yang ada di hati kami, Wahai Engkau yang maha Tau, gantikan segala kesombongan kami dengan ketawadlu’an, jangan biarkan kami makhluk sombong yang suka bermegah-megahan dan pamer kemewahan, golongkan kami jadi oran yang nikmat , qona’ah dan bersahaja, jauhkan kami dari sifat Riya’, pamer amal kebaikan, berikan kami kenikmatan untuk menjadi orang yang berhati tulus dan ikhlash, jauhkan kami dari perbuatan dzalim pada siapapun, sekesil apapun, cegahlah kami dari perbuatan maksiat. Kami tak ingin gagal dalam hidup ini, kami tidak mau jadi ahli neraka, kami ingin berjumpa dengan RasulMU, Yaa Allah…. kapanpun hidup kami berakhir, beri kesempatan pada kami untuk memperbaiki diri, beri kesempatan kami untuk berbekal pulang,, jangan biarkan kehidupan dunia ini menipu kami, Yaa Allah .. hujamkan di hati kami kerinduan KepadaMU, jadikan hari-hari penuh penantian, agar kami dapat mempersembahkan yang terbaik UntukMU dari hidup ini. Allahumma inna nas alukar ridlo wal jannah, wa na’uudzubika min sakhotika wannaar, Allahumma inna nas aluka bi husnil khaatimah… Aamiin yaa Rabbal ‘alamiin.
Sekian dulu tulisan saya kali ini, semoga Allah menjauhkan kita semua dari kesombongan dan memudahkan segala perkara kita untuk menjadi hamba yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
Jika ada kesalahan mohon di ingatkan, Semoga bermanfaat. :)
Minggu, 21 Juni 2015
Waktu Imsak Tidaklah Sesat (menolak fatwa sesat ulama wahhabi)
MUKADDIMAH
Dalam beberapa tahun ini muncul fatwa dari Ulama Wahaby yang menfatwakan tentang terlarangnya dan sesatnya jadwal waktu Imsakiyah yang muncul pada bulan Ramadhan, fatwa ini menurut pandangan para wahaby disebabkan ada beberapa hal yaitu waktu imsak adalah bid’ah dan tidak ada pada zaman nabi, waktu imsak di asumsikan wahaby sebagai awal waktu berpuasa padahal mengakhirkan waktu sahur adalah sunnah dan utama, waktu imsak termasuk dalam kategori membuat syareat baru dan kalaupun ada tentu nabi telah melakukannya. Beberapa alas an tersebut begitu mengemuka di permukaan dan difatwakan untuk mensesatkan jadwal waktu imsakiyah yang berkembang di masyarakat, utamanya di daerah muslim Sunni.
PERSPEKTIF IMSAK MENURUT ILMU FALAK
Waktu imsak adalah waktu tertentu sebelum shubuh, saat kapan biasanya seseorang mulai berpuasa[1]. Mengenai watu imsak ada yang berpendapat 15 menit[2],10 menit[3], dan ada yang menggunakan 18 menit dan 20 menit sebelum fajar shodiq yang merupakan awal waktu shubuh dan juga awal berpuasa[4]. Dalam hal ini para ahli astronomi berbeda pendapat mengenai irtifa’ (ketinggian matahari ) fajar shadiq yang pada waktu itu dibawah ufuq (horizon) ada yang berpendapat -18,-19,dan -20[5].
Fenomena ini dalam astronomi disebut dengan Twilight, fenomena ini muncul dibawah horizon sampai matahari terbit pada pagi hari atau setelah matahari terbenam pada sore hari[6]. Pada waktu itu cahaya kemerahan dilangit sebelah timur sebelum matahari terbit, yaitu saat matahari menuju terbit pada posisi jarak zenith 108 derajad dibawah ufuq sebelah timur[7]. Dalam Explanatory Supplemen to The Astronomical Almanac dijelaskan” this is caused by the scattering of sunlight from upper layer of the earth atmosphere. It begins at sunset (ends at sunrise) and is conventionally taken to end (or begin) when the center of the sun reaches an altitude of -18”.[8]
Fajar sendiri dibagi menurut ahli astronomi dapat dibagi menjadi dua, yaitu fajar waktu pagi dan fajar waktu senja hari, secara fiqhi fajar dibagi menjadi dua juga yaitu fajar shodiq dan fajar kadzib, dalam hal ini K. Maisur mengatakan
وهو المنتشر ضوؤه معترضا ينواحى السماء. بخلاف الكاذب فإنه يطلع مستطيلا ثمّ يذهب ويعتقبه ظلمة.وذالك قبل الصادق[9]
Dalam ranah fiqih fajar dapat dibagi atas dua macam yaitu fajar shadiq dan fajar kadzib, fajar kadzib adalah fenomena cahaya kemerahan yang tampak dalam beberapa saat kemudian menghilang sebelum fajar shadiq, dalam dunia ilmu astronomi sering disebut Twilight False atau Zodiacal light, Fajar kadzib terjadi akibat hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antar planet di ekliptika,sedangkan fajar shadiq adalah fenomena astronomical twilight yang muncul setelah fajar kadzib. Para Ahli Fiqih memberi gambaran bahwa fenomena fajar shadiq ketika mega putih (biyadh) dari horizon telah tampak dari arah timur, hal tersebut telah dijelaskan dalam surat Al-Baqoroh ayat 187 dimana waktu melakukan puasa adalah ketika terbitnya fajar (fajar shadiq) sampai tenggelamnya matahari.[10]
WAKTU IMSAK DALAM PERDEBATAN
Dalam pemaparan diatas waktu imsak adalah suatu waktu sebelum waktu shubuh dimana juga menjadi awal untuk menjalankan ibadah Puasa, dari gambaran ini sungguh salah apabila diyakini bahwa awal berpuasa dimulai pada waktu imsak ini dan ini kemudian yang disalah persepsikan oleh ulama-ulama salafy, penggunaan waktu imsak ternyata berkaitan dengan kehati-hatian (ikhtiyat) dalam menjalankan awal ibadah puasa, dalam menyikapi fatwa sesat dari salafy setidaknya ada beberapa hal yang bias kita fahami, antara lain:
Pertama, masalah auqot terkait dengan masalah fenomena alam untuk itu kita harus memahami bahwa masalah auqot berkaitan dengan Sunnatulloh, Sunnatullah mengatur dan berlaku untuk alam semesta (makro kosmos) dan alam manusia (mikro kosmos), hukum ini tidak diwahyukan, tetapi dihamparkan dalam bentangan realitas alam semesta dan alam manusia, yang semuanya tunduk patuh kepadanya dengan sukarela maupun terpaksa, hukum ini berlaku obyektif, pasti dan tetap, diperoleh melalui observasi dan lahirlah science dengan berbagai disiplin ilmu yang melingkupinya, berbeda dengan Dienullah yang khusus mengatur alam manusia yaitu tentang bagaimana harus berprilaku terhadap penciptanya,dirinya sendiri, dan lingkungannya, hukumnya bersifat subyektif, tidak pasti, tidak tetap, hukum ini diwahyukan dan terangkum di dalam Alqur’an dan Hadist, pengetahuannya di peroleh dari telaah kita terhadap teks-teks wahyu, maka lahirlah ilmu fiqih, tafsir, hadits, dll, derajad kebenarannya seberapa akurat ia didukung oleh dalil-dalil naqli yang sifatnya legal formal, ayat-ayat yang berkiatan dengan fajar nampak jelas merupakan bagian dari ayat-ayat kauniyah dan akan dapat difahami dari Sunnatullah.
Kedua, waktu imsak merupakan bagian dari ikhiyat, artinya waktu imsak diperlukan dalam rangka untuk menjauhkan kita dari kesalahan untuk makan dan minum, maksudnya supaya kita hati-hati dan tidak makan dan minum ketika waktu puasa telah tiba[11]. Hal ini sangat jelas bahwa dalam waktu imsak bukanlah awal melaksanakan puasa dan dugaan serta tuduhan dari salafy salah besar, ihtiyat sangat penting sekali dalam menjalankan ibadah kita, Syekh Ali al-Shobuni mengisyaratkan hal tersebut dengan sebuah qoidah :
أمور العبادة ينبغي فيها الإحتياط[12]
Akhirnya dari pemaparan tersebut, maka waktu Imsak yang banyak beredar bukanlah suatu bid’ah yang sesat tetapi bagian dari bid’ah hasanah dalam rangka memudahkan kita dalam menjalankan ibadah Puasa.
1] Nur Ahmad Shadiq bin Saryani, Abu Saiful Mujab, Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal, Madrasah Tasywiq al-Thullab al-Salafiyah, Kudus, 1407H/1986M, hal 66
[2] ……..opcit, hal 66
[3] Sjamsul Arifin,Drs.H, Ilmu Falak, STAIN PONOROGO, Ponorogo, 1997M. hal 56
[4] Al Istanbuly, Sa’id bin Husaein Hamly, Kitab Mawaqit al-Sholat, Hakikat Kitabevi, Istanbul, 1988 M, hal 33
[5] ……..opcit, hal 33.
[6] Azhari, Susiknan, Ensiklopedia Hisab Rukyat, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2005, hal 156.
[7] …….opcit, hal 53
[8] Yallop, B.D, Astronomical Phenomena, Explanatory Supplemen to The Astronomical Almanac, University Science, California, 1992, hal 492
[9] Al-Tursidi, Maisur,K, Al-Hawashil , PP. Mahir al-Riyadh, Kediri, tt, hal 50
[10] Sabiq, Sayyid, al-Syekh, Fiqh al-Sunnah, Dar el-Fikr,Beirut, 1403H/1983M, hal 369
[11] Al Istanbuly, Sa’id bin Husaein Hamly, Kitab Mawaqit al-Sholat, Hakikat Kitabevi, Istanbul, 1988 M, hal 33
[12] Al-Shobuny, Mohammad Ali, Al-Syekh, Rawai’ al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min al-Qur’an, jilid 2, Dar el-Fikr, Beirut,tt,, hal 205
Sabtu, 20 Juni 2015
Menjadi Kismis Sebelum Menjadi Anggur
Kisah yang akan diceritakan ini berasal dari kitab Al-Asybah wa Al-Naza’ir karangan Ibn Nujaim Al-Hanafi, lalu dikisahkan kembali oleh Syeikh Zahid Al-Kauthari dalam kitabnya Husnu Al-Taqadhi fi Sirah Abi Yusuf Al-Qadhi.
Kisah ini berkenaan dengan Imam Ya’qub bin Ibrahim Al-Ansari; masyhur dengan panggilan Abu Yusuf (w. 182 H). Beliau murid kesayangan Imam Abu Hanifah. Beliau sangat bijak, hafalannya kuat dan banyak ilmu. Di antara ramai murid Abu Hanifah yang lain, Abu Yusuf selalu terdepan dalam semua perkara.
Pada suatu hari, Abu Yusuf merasa ilmu yang dimilikinya sudah mencukupi. Saatnya untuk menjadi tokoh ulama yang siap menjawab semua permasalahan umat. Beliau lalu meninggalkan majlis Abu Hanifah dan membuka majelis ilmu sendiri. Dalam majelis itu, Abu Yusuf mempersilakan setiap orang untuk menimba ilmu atau mengajukan soalan kepadanya.
Mengetahui perkara ini, Abu Hanifah berniat menyadarkan muridnya. Diam-diam, beliau mengutus seseorang ke majelis Abu Yusuf dengan beberapa soalan untuk mengujinya.
Orang itu berkata kepada Abu Yusuf: “Saya menyerahkan sepotong kain kepada penjahit untuk dijadikan baju. Apabila saya tanyakan, penjahit itu mengingkari pernah menerima kain daripada saya. Namun esoknya, ia memberi saya kain itu yang telah dijahit menjadi baju. Soalan saya: apakah ia berhak menerima upah?”
Abu Yusuf menjawab: “Ia berhak menerima upah.” Orang itu berkata: “Jawapanmu salah.”
Abu Yusuf merubah jawabannya: “Ia tidak berhak menerima upah.” Orang itu kembali berkata: “Jawapanmu salah.” Abu Yusuf menjadi sangat bingung.
Orang yang telah dilatih Abu Hanifah ini lalu berkata: “Jawaban yang benar adalah: jika baju itu dijahit sebelum ia mengingkari kain, maka ia berhak menerima upah. Namun jika kain itu dijahit setelah ia mengingkari kain, maka ia tidak berhak.”
Orang ini terus mengajukan beberapa soalan lain. Setiap kali Abu Yusuf menjawab, ia menyalahkan jawabannya lalu mengajukan jawaban yang tepat.
Diskusi ini jadi menyadarkan Abu Yusuf akan kejahilan dirinya. Dirinya ternyata belum layak menjadi seorang ulama, malah masih perlu banyak belajar daripada ulama. Akhirnya, beliau memutuskan kembali ke majelis ilmu Abu Hanifah untuk melanjutkan pengajiannya.
Apabila melihat Abu Yusuf, Abu Hanifah tersenyum dan berkata: “Engkau telah menjadi kismis sebelum menjadi anggur.”
Hukum Kesempurnaan
Kisah ini sangat inspiratif. Seringkali kita melihat diri kita begitu besar dan matang, padahal pada kenyataannya masih begitu kecil dan mentah.
Sebuah kesempurnaan dan kematangan tidak pernah datang begitu sahaja. Ianya merupakan hasil dari suatu proses. Proses ini terdiri dari beberapa tahapan. Antara satu tahapan kepada tahapan yang lain seringkali memerlukan masa yang cukup panjang.
Hukum ini berlaku untuk semua makhluk hidup. Seekor ulat menghabiskan masa berhari-hari di dalam kepompong sebelum menjadi rama-rama yang cantik. Bahkan sebiji anggur sebelumnya mentah, lalu masak, kemudian kering dan menjadi kismis.
Sesiapa yang tidak sabar menjalani semua ini, maka proses kesempurnaan itu akan terbantut. Lalu ia tidak akan pernah sempurna selama-lamanya.
Hukum kesempurnaan ini juga berlaku untuk semua disiplin ilmu atau kerjaya yang kita pilih. Seorang dokter pakar memerlukan masa yang panjang sebelum menjadi spesialis di bidang perubatan. Begitu juga seorang jurutera, penulis, pelakon apalagi ulama Islam yang menjadi rujukan umat.
Jadi, jalan menuju kepakaran sangat panjang. Sesiapa yang menjalaninya dengan sabar, suatu hari akan tampil sebagai pakar yang disegani. Dan pendapatnya dalam disiplin itu diakui sebagai pandangan yang berwibawa.
Sebaliknya, sesiapa yang tak sabar menjalaninya, lalu mendakwa pakar sebelum masanya, maka ia telah kering sebelum matang, menjadi kismis sebelum menjadi anggur. Oleh itu, ucapan dan pendapatnya tidak mengandungi nilai ilmiah sama sekali.
Dalam kaidah fiqh ada disebutkan:
مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“Sesiapa yang ingin memiliki sesuatu sebelum masanya, maka ia diharamkan daripada memiliki sesuatu itu.”
Orang seperti ini ibarat pokok yang belum tertanam dengan sempurna, maka buah yang keluar daripadanya pun tidak bermutu tinggi. Berkata Syeikh Ibn ‘Athoillah Al-Sakandari dalam Al-Hikam:
ادْفِنْ وجودَك في أرضِ الخمولِ فما نَبَتَ مما لم يُدْفَنْ لا يَتِمُّ نَتَاجُه
“Tanamlah dirimu di dalam tanah kehinaan / kerendahan (khumul). Sebab apa-apa yang tumbuh dari pokok yang tidak tertanam tidak akan sempurna buah/hasil nya.”
Sebelum merusak orang lain, sikap “ingin cepat besar” ini akan merusak dirinya sendiri. Ia akan tersibukkan dengan berbagai perkara sehingga tidak sempat lagi menimba ilmu. Dan, perasaan takut dilihat bodoh dan khuatir ditinggalkan pengikut akan menjauhkan dirinya daripada jalan peningkatan ilmu.
Al-Hafiz Ibn Hajar dalam Fathul Bari menukil ucapan berikut ini dari Imam Al-Syafii:
إِذَا تَصَدَّرَ الْحَدَث فَاتَهُ عِلْم كَثِير
“Apabila orang yang baru belajar telah maju ke hadapan (yakni: hendak menjadi tokoh besar), maka ia terluput ilmu yang sangat banyak.”
Rabu, 17 Juni 2015
Sholat Tarowwih dengan cara 4 rokaat sekali salam
Banyak orang mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam, dengan dalil hadis Siti Aisyah sebagai berikut:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Artinya: Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya ”Ya Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir”? Kemudian beliau menjawab: ”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur”.
Banyak orang terkecoh dan terjebak dalam memahami penjelasan Imam Muhammad al-Shan’âniy dalam kitab Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, sehingga mereka mengatakan tata cara shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam disebutkan dalam kitab itu. Untuk menjawab tuduhan itu, mari kita lihat secara langsung redaksi Imam Muhammad al-Shan’âniy, sebagai berikut:
وَعَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ فَصَّلَتْهَا بِقَوْلِهَا ( يُصَلِّي أَرْبَعًا ) يُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُتَّصِلَاتٌ وَهُوَ الظَّاهِرُ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُنْفَصِلَاتٌ وَهُوَ بَعِيدٌ إلَّا أَنَّهُ يُوَافِقُ حَدِيثَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى .
Artinya; Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Kemudian Siti A’isyah merincikan shalat Rasulullah dengan perkataannya:”Beliau shalat 4 rakaat”. Redaksi ini memiliki kemungkinan 4 rakaat dilakukan sekaligus dengan 1 salam, ini adalah yang zhahir, dan juga bisa dipahami 4 rakaat itu dilakukan secara terpisah (2 rakaat- 2 rakaat), tetapi pemahaman ini jauh hanya saja ia sesuai dengan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat.
[1]Maksud perkataan Imam Muhammad al-Shan’âniy:” 4 rakaat dilakukan dengan sekali salam, dipahami menurut zhahir/tekstual hadis. Sedangkan pelaksanaan 4 rakaat dengan 2 salam menjadi jauh bila tidak ada keterangan dari hadis lain. Tetapi 4 rakaat dengan cara 2 salam memiliki kekuatan dengan adanya keterangan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat.
Dalam hal ini Imam Syafii mengatakan dalam kitab al-Risâlah sebagai berikut :
فَكُلُّ كَلَامٍ كَانَ عَامًا ظَاهِرًا فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَهُوَ عَلَى ظُهُوْرِهِ وَعُمُوْمِهِ حَتَّى يُعْلَمَ حَدِيْثٌ ثَابِتٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ .
Artinya: “Setiap perkataan Rasulullah dalam hadis yang bersifat umum/zhahir diberlakukan kepada arti zhahir dan umumnya sehingga diketahui ada hadis lain yang tetap dari Rasulullah”.
[2] Maksud dari perkataan Imam Syafii adalah redaksi hadis yang masih bersifat umum/zhahir, boleh-boleh saja dipahami demikian adanya, dengan catatan selama tidak ada keterangan lain dari hadis Rasulullah. Tetapi bila ditemukan hadis Rasulullah yang menjelaskan redaksi zhahir dan umum satu hadis, maka hadis tersebut tidak boleh lagi dipahami secara zhahir dan umum.Jika hendak dipertentangkan, hadis tentang shalat yang dikerjakan 2-2 lebih kuat dan lebih banyak diamalkan oleh umat sebab ia merupakan hadis Qauliy (perkataan Nabi) dalam riwayat lain dikatakan juga sebagai hadis Fi’liy (perbuatan Nabi), sedangkan hadis Siti Aisyah 4-4 hanya merupakan hadis Fi’liy (perbuatan Nabi). Ketika terjadi perbedaan antara perkataan Nabi dengan perbuatannya maka yang harus dilakukan umatnya adalah mengamalkan apa yang diperintahkannya (perkataannya), sebabnya adalah lantaran perbuatan Nabi bisa jadi merupakan kekhususan bagi beliau yang tidak berlaku bagi umatnya.
Contohnya adalah tentang kandungan surat annisa ayat 3 sebagai perintah Nabi kepada para sahabat dan umatnya agar tidak memiliki istri lebih dari 4 orang. Padahal beliau sendiri di akhir hayatnya meninggalkan 9 orang istri. Dalam hal ini yang berlaku adalah kita tetap tidak boleh memiliki istri lebih dari 4. Sementara beristri lebih dari 4 merupakan kekhususan yang hanya boleh bagi Nabi. Dengan kaidah ini, maka mengerjakan shalat malam dengan 2-2 rakaat lebih tepat ketimbang mengerjakannya dengan 4-4 rakat sekali salam, sebab bisa jadi shalat 4-4 rakaat merupakan sesuatu yang khusus bagi Nabi.Masih ada cara lain yang paling mudah untuk memahami hadis Siti Aisyah yakni dengan mencari ucapan Aisyah sendiri pada lain kesempatan. Kita tentu berhak mempertanyakan kembali apakah yang dimaksud Siti Aisyah 4 rakaat benar-benar sekali salam??? Ternyata Siti Aisyah sendiri sebagai periwayat hadis 4-4 menjelaskan dalam hadis lain bahwa yang dimaksud dengan 4 rakaat pelaksanaannya adalah dengan 2-2. Perhatikanlah penjelasan Siti Aisyah pada hadis berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ
الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ.
Artinya: Dari Aisyah berkata: ”Seringkali Rasulullah melakukan shalat antara selesai shalat Isya yang disebut orang dengan shalat ’Atamah sampai Fajar beliau mengerjakan shalat 11 rakaat, beliau melakukan salam pada tiap 2 rakaat dan melakukan 1 rakaat Witir. Apabila seorang Muadzzin selesai dari azan shalat Shubuh yang menandakan fajar telah datang, Muadzzin tersebut mendatangi beliau beliau pun melakukan shalat 2 rakaat ringan setelah itu beliau berbaring (rebah-rabahan) atas lambungnya yang kanan sampai Muadzzin itu mendatangi beliau untuk Iqamah.Hadis tersebut disebutkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya hadis no: 1216, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak hadis no: 1671, Imam al-Darimiy dalam sunannya hadis no: 1447, Imam al-Bayhaqiy dalam al-Sunan al-Shughra hadis no: 600, al-sunan al-Kubra hadis no: 4865 dan Ma’rifah Sunan Wa al-Atsar hadis no: 1435.>>
Dalam risalah الجـواب الصحيح لمن صلى أربعا بتسليمة من التراويــح, penulis telah sebutkan lebih dari 80 kitab Mu’tabar dari berbagai cabang ilmu, baik dari keterangan kitab Syarh hadis, fiqh, Ushul Fiqh dan Taswwuf, yang menyatakan bahwa shalat Tarawih yang dikerjakan dengan 4 rakaat sekali salam itu tidak sah. Di antaranya:
Imam Nawawiy al-Dimasyqiy:
يَدْخُلُ وَقْتُ التَّرَاوِيْحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ ذَكَرَهُ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ وَيَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ اْلفَجْرِ وَلْيُصَلِّهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ كَمَا هُوَ اْلعَادَةُ فَلَوَْصَلَّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيْمةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ الْقَاضِى حُسَيْنٌ فيِ فَتَاوِيْهِ ِلاَنَّهُ خِلاَفُ الْمَشْرُوْعِ قَالَ وَلاَ تَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ بَلْ يَنْوِى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ أَوْ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ أَوْ قِيَامَ رَمَضَانَ فَيَنْوِيْ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ مِنْ صَلاَةِ التَّرَاوِيحِ . )المجموع شرح المهذب : ج 4 ص : 38 (دار الفكر 2000)
Artinya:”Masuk waktu shalat Tarawih itu setelah melaksanakan shalat Isya. Imam al-Baghawi dan lainnya menyebutkan: “waktu tarawih masih ada sampai terbit fajar”. Hendaklah seseorang mengerjakan shalat Tarawih dengan dua rakaat- dua rakaat, sebagaimana kebiasaan shalat sunah lainnya. Seandainya ia shalat dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi Husain dalam fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah disyariatkan. Al-Qâdhi juga berpendapat seorang dalam shalat Tarawih ia tidak boleh berniat mutlak, tetapi ia berniat dengan niat shalat sunah Tarawih, shalat Tarawih atau shalat Qiyam Ramadhan. Maka ia berniat pada setiap 2 rakaat dari shalat Tarawih.
Imam Ahmad Ibn Hajar al-Haytamiy:
اَلتَّرَاوِيْحُ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً , وَيَجِبُ فِيْهَا أَنْ تَكُوْنَ مَثْنَى بِأَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ , فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ لِشِبْهِهَا بِاْلفَرْضِ فِي طَلَبِ الْجَمَاعَةِ فَلاَ تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ بِخِلاَفِ نَحْوِ سُنَّةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ . )فتح الجواد شرح الارشاد :ج 1 ص : 163 (مكتبة اقبال حاج ابراهيم سيراغ ببنتن 1971)
Artinya: Shalat Tarawih itu 20 rakaat, wajib dalam pelaksanaanya dua-dua, dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Bila seseorang mengerjakan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah karena hal tersebut menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah, maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang). Lain halnya dengan shalat sunah Zuhur dan Ashar (boleh dikerjakan empat rakaat satu salam) atas Qaul Mu’tamad.
Imam Muhammad Ibn Ahmad al-Ramliy:
وَلَا تَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ كَمَا فِي الرَّوْضَةِ بَلْ يَنْوِي رَكْعَتَيْنِ مِنْ التَّرَاوِيحِ أَوْ مِنْ قِيَامِ رَمَضَانَ .وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ إنْ كَانَ عَامِدًا عَالِمًا ، وَإِلَّا صَارَتْ نَفْلًا مُطْلَقًا ؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَشْرُوعِ.) نهاية المحتاج شرح المنهاج : ج 1 ص :127 (دار الفكر 2004)
Artinya: Tidak sah shalat Tarawih dengan niat shalat Mutlak, seharusnya seseorang berniat Tarawih atau Qiyam Ramadhan dengan mengerjakan salam pada setiap 2 rakaat. Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam, jika ia sengaja-ngaja dan mengetahui maka shalatnya tidak sah. Kalau tidak demikian maka shalat itu menjadi shalat sunah Mutlak, Karena menyalahi aturan yang disyariatkan”.
Imam Muhammad al-Zarkasyiy:
صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ وَحَكَى الرُّوْيَانِيُّ عَنِ اْلقَدِيْمِ أَنَّهُ لاَحَصْرَ لِلتَّراوِيْحِ وَهُوَ غَرِيْبٌ . وَيُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ فِي التَّحْقِيْقِ وِثَاقًا لِلْقَاضِي حُسَيْنٍ فِي فَتَاوِيْهِ وَلِأَهْلِ الْمَدِيْنَةِ فَعْلُهَا سِتًّا وَثَلاَثِيْنَ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَاْلأَصْحَابُ : مِنْ خَصَائِصِهِمْ . (الديباج في توضيح المنهاج : ج 1 ص : 198 (دار الحديث 2005)
Artinya: Shalat Tarawih dikerjakan 20 rakaat dengan 10 salam. Imam al-Rûyâniy menghikayatkan pendapat dari Qaul Qadim ”Sesungguhnya pernyataan shalat Tarawih tidak ada batasan adalah pendapat yang Gharib (aneh)”. Seseorang yang mengerjakan shalat Tarawih hendaknya memberi salam pada tiap 2 rakaatnya. Seandainya seseorang shalat 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah. Imam Nawawiy al-Dimasyqiy telah menyebutkan hal itu dalam kitabnya al-Tahqîq, yang bersandar kepada al-Qâdhi Husain dalam fatâwanya. Adapun penduduk kota Madinah mereka mengerjakan shalat Tarawih 36 rakaat. Imam Syafii dan para pengikutnya berkata:” Khusus bagi penduduk Madinah saja”.
Piss Ktb
Jumlah Rokaat Tarowwih
Shalat Tarawih bagi umat Islam Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap muslim pernah menjalankannya. Pada awal Ramadhan, biasanya masjid atau mushala penuh dengan kaum muslimin danmuslimat yang menjalankan shalat jama'ah isya' sekaligus tarawih. Ada yang menjalankan 8 rakaat, dan ada yang 20 rakaat, Sedang shalat Witir yang diletakkan di akhir biasanya sarna-sarna 3 rakaat.
Shalat Tarawih hukumnya sangat disunnahkan (sunnah muakkadah), lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikann oleh para sahabat dan ulama.
Ada beberapa pendapat tentang raka'at shalat Tarawih; ada pendapat yangmengatakan bahwa shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya,yaitu boleh dikerjakan dengan 20 (dua puluh) raka'at, 8 (delapan), atau36 (tiga puluh enam) raka'at; ada pula yang mengatakan 8 raka'at; 20raka'at; dan ada pula yang mengatakan 36 raka'at.
Pangkal perbedaan awal dalam masalah jumlah raka'at shalat Tarawihadalah pada sebuah pertanyaan mendasar. Yaitu apakah shalat Tarawih itu sama dengan shalat malam atau keduanya adalah jenis shalatsendiri-sendiri? Mereka yang menganggap keduanya adalah sama, biasanyaakan mengatakan bahwa jumlah bilangan shalat Tawarih dan Witir itu 11 raka'at.
Adapun orang yang melakukan salat tarawih 8 (delapan) rakaat denganwitir 3 (tiga) rakaat, adalah mengikuti hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah yang berbunyi sebagai berikut:
َما كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَــــانَ وَلاَ فِى غَــيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رََكْعَةً ، يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْـاَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْــاَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَــلِّى ثَلاَثًا ، فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ اَنْ تُوْتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامُ وَلاَ يَـــــنَامُ قَلْبِى . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
"Tiadalah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan lainnya atas sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan Anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat empat rakaat dan jangan Anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga rakaat. Kemudian aku (Aisyah) bertanya, "Wahai Rasulullah, adakah Tuan tidur sebelum salat witir?" Beliau bersabda, "Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, sedang hatiku tidak tidur." (HR.Bukhari)
Syekh Muhammad bin 'Allan dalam kitab "Dalilul Falihin" jilid III halaman 659 menerangkan bahwa hadits di atas adalah hadits tentang salat witir, karena salat witir itu paling banyak hanya sebelas rakaat, tidak boleh lebih. Hal itu terlihat dari ucapan Aisyah bahwa Nabi saw. tidak menambah salat, baik pada bulan Ramadlan atau lainnya melebihi sebelas rakaat. Sedangkan salat tarawih atau "qiyamu Ramadlan" hanya ada pada bulan Ramadlan saja.
Ucapan Aisyah "beliau salat empat rakaat dan Anda jangan bertanya tentang kebagusan dan panjangnya", tidaklah berarti bahwa beliau melakukan salat empat rakaat dengan satu kali salam. Sebab dalam hadits yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra. Nabi bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَاَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
.
"Salat malam itu (dilakukan) dua rakaat dua rakaat, dan jika kamu khawatir akan subuh, salatlah witir satu rakaat".
Dalam hadits lain yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Umar juga berkata :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى وَ يُوْتِرُ بِرَكْعَةٍ.
"Adalah Nabi saw. melakukan salat dari waktu malam dua rakaat dua rakaat, dan melakukan witir dengan satu rakaat".
Pada masa Rasulullah saw. dan masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, salat tarawih dilaksanakan pada waktu tengah malam, namanya bukan salat tarawih, melainkan "qiyamu Ramadlan" (salat pada malam bulan Ramadlan). Nama "tarawih" diambil dari arti "istirahat" yang dilakukan setelah melakukan salat empat rakaat. Disamping itu perlu diketahui, bahwa pelaksanaan salat tarawih di Masjid al-Haram, Makkah adalah 20 rakaat dengan dua rakaat satu salam.
Lalu Umar bin 'Abdul Aziz menambah raka'at shalat Tarawih menjadi 36raka'at bagi orang di luar kota Makkah agar menyamahi pahala Tarawihahli makkah; Atau shalat Tarawih 20 raka'at dan Witir 3 raka'at menjadi23 raka'at. Sebab 11 rakaat itu adalah jumlah bilangan rakaat shalatmalamnya Rasulullah saw bersama sahabat dan setelah itu Beliaumenyempurnakan shalat malam di rumahnya. Sebagaimana Hadits Nabi SAW.:
أَنَّهُ صلّى الله عليه وسلّم خَرَجَمِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيْ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُمُتَفَرِّّقَةٍ: لَيْلَةُ الثَالِثِ, وَالخَامِسِ, وَالسَّابِعِوَالعِشْرِيْنَ, وَصَلَّى فِيْ المَسْجِدِ, وَصَلَّّى النَّاسُبِصَلاَتِهِ فِيْهَا, وَكَانَ يُصَلِّّْي بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ,وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيْهَا فِيْ بُيُوْتِهِمْ. رواه الشيخان
"Rasulullah SAW keluar untuk shalat malam di bulan Ramadlansebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untukshalat bersama umat di masjid, Rasulullah saw. shalat delapan raka'at,dan kemudian mereka menyempurnakan sisa shalatnya di rumah masing-masing. (HR Bukhari dan Muslim).
Para imam madzhab telah menetapkan kesunnahan salat tarawih berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits sebagai berikut:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِى جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيَ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثٌ مُتَفَرِّقَةٌ لَيْلَةُ الثَّالِثِ وَالْخَامِسِ وَالسّابِعِ وَالْعِشْرِيْنَ وَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ وَصَلَّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا ، وَكَانَ يُصَلِّى بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ أَيْ بِأَرْبَعِ تَسْلِيْمَاتٍ كَمَا سَيَأْتِى وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيَهَا فِى بُيُوْتِــــهِمْ أَيْ حَتَّى تَتِــــمَّ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً لِمَا يَأْتِى ، فَكَانَ يُسْمَعُ لَهُمْ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ النَّحْلِ .
"Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar pada waktu tengah malam pada bulan Ramadlan, yaitu pada tiga malam yang terpisah: malam tanggal 23, 25, dan 27. Beliau salat di masjid dan orang-orang salat seperti salat beliau di masjid. Beliau salat dengan mereka delapan rakaat, artinya dengan empat kali salam sebagaimana keterangan mendatang, dan mereka menyempurnakan salat tersebut di rumah-rumah mereka, artinya sehingga salat tersebut sempurna 20 rakaat menurut keterangan mendatang. Dari mereka itu terdengar suara seperti suara lebah".
Sahabat Ibnu Abbas meriwayatkan bahwaRasulullah SAW shalat Tarawih di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 Rakaat ditambah Witir. (HR Baihaqi dan Thabrani).
Ibnu Hajar menyatakan bahwa Rasulullah shalatbersama kaum muslimin sebanyak 20 rakaat di malam Ramadhan. Ketiga tibadi malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun rasulullah tidak keluar.Kemudian paginya beliau bersabda:
خَشِيْتُ أَنْ تَفَرَّضَ عَلَيْكُمْ فَلَا تُطِيْقُونَهَا
"Aku takut kalau-kalau tarawih diwajibkan atas kalian, kalian tidak akan mampu melaksanakannya."
Hadits ini disepakati kesahihannya dan tanpamengesampingkan hadits lain yang diriwayatkan Aisyah yang tidakmenyebutkan rakaatnya. (Dalam hamîsy Muhibah, Juz II, hlm.466-467)
SHOLAT TARAWIH PADA MASA KHOLIFAH UMAR BIN KHATTAB
Disebutkan dalam kitab Sahih Bukhari :
"Dari Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata : Saya keluar bersama Sayidina 'Umar bin Khathab (Khalifah) pada suatu malam bulan Ramadhan pergi ke mesjid (Medinah). Didapati dalam mesjid orang-orang shalat tara-wih berpisah-pisah. Ada orang yang sembahyang sendirisendiri, ada orang yang shalat dan ada beberapa orang di belakangnya, maka Sayidina Umar berkata : Saya berpendapat akan mempersatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan seorang Imam sesungguhnya lebih baik, lebih serupa dengan shalat Rasulullah. Maka dipersatukan orang-orang itu shalat di belakang seorang Imam namanya Ubal bin Ka'ab. Kemudian pada satu malam kami datang lagi ke mesjid, lantas kami melihat orang-orang shalat bersama-sama di belakang seorang Imam. Sayidina Umar berkata : Ini adalah bid'ah yang baik." (H. Riwayat Imam Bukhari, lihat Sahih Bukhari I, halaman 241 - 242).
Abdurrahman bin Abdul Qarai yang meriwayatkan perbuatan Sayidina Umar ini adalah seorang Tabi'in yang lahir ketika Nabi masih hidup. Beliau adalah murid Sayidina Umar bin Khathab, wafat tahun 81 H. dalam usia 78 tahun.
Nampak dalam hadits ini bahwa Khalifah yang kedua Umar bin Khathab memerintahkan agar shalat tarawih dikerjakan dengan berjamaah, tidak scorang-seorang saja. Dan beliau berpendapat bahwa hal itu adalah "bid'ah yang baik".
Tersebut dalam kitab Al Muwatha', karya Imam Malik, halaman 138 begini :
Dari Malik dari Yazid bin Ruman, ia berkata : "Adalah manusia mendirikan shalat pada zaman Umar bin Khathab sebanyak 23 raka'at." (H.Riwayat Imam Malik dalam Kitab Al Muwatha' halaman 138 juz I)
Nampaklah bahwa sahabat-sahabat Nabi ketika itu diperintah oleh Sayidina Umar untuk mengerjakan shalat sebanyak 23 raka'at, yaitu 20 raka'at shalat tarawih dan 3 raka'at shalat witir sesudah shalat tarawih.
Disebutkan dalam kitab Imam Baihaqi :
"Bahwasanya mereka (sahabat-sahabat) Nabi, mendirikan shalat (tarawih) dalam bulan Ramadhan pada zaman Umar bin Khathab Rda dengan 20 raka'at. (H. Riwayat Baihaqi - lihat Baihaqi (Sunan al-kubra) juz II hal 466)
Nampaklah dalam keterangan-keterangan ini bahwá sahabat-sahabat Nabi telah (sepakat) mendirikan salat tarawih pada masa Umat sebanyak 20 raka'at. Ijma' Sahabat menurut ushul fiqih adalah hujah yakni adalah dalil syariat.Inilah pokok pangkal hitungan raka'at shalat tarawih.Sayidina Umar, seorang Sahabat Nabi yang dipercayai Khalifah Nabi yang kedua memerintahkan 20 raka'at. ini berarti bahwa beliau mengetahui bahwa banyaknya shalat tarawih Nabi, baik di mesjid atau di rumah sebanyak 20 raka'at. Kalau tidak tentu Sayidina Umar tidak akan memerintahkan begitu Ini namanya riwayat hadits dengan perbuatan. Kita ummat Islam disuruh oleh Nabi mengikuti Sayidina Abu Bakar dan Umar. Nabi berkata :
قْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ . رَوَاهُأَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ
"Ikutilah dua orang sesudah saya: yaitu Abu Bakar dan Umar". (Hadits Riwayat Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah — lihat Musnad Ahmad bin Hanbal V hal. 382 dan Sahih Tirmidzi XIII 129).
Dan dalam sebuah hadits ummat Islam diperintah oleh Nabi supaya mengikut Khalifah-Khalifah Rasyidin, beliau berkata begini :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. رَوَاهُ أَبُوْدَاوُدَ
"Maka wajib atasmu mengikut sunnah aku dan sunnah KhalifahKhalifah Rasyidin yang diberi hidayat, sesudah aku". (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi — Lihat Sunan Abu Daud IV halaman 201).
Dapat diambil kesimpulan dari dalil-dalil di atas, bahwa hitungan raka'at shalat tarawih adalah 20 raka'at, dan shalat witir adalah 3 raka'at, jumlahnya 23 raka'at.
Barang siapa yang tidak mengerjakan shalat tarawih 20 raka'at rnaka ia belum dinamai melaksanakan shalat tarawih, dan belum mengikuti jejak Sayidina Umar bin Khathab. Khalilatur-rasyidin yang kita semuanya disuruh Nabi mengikut beliau.
Jumlah Raka'at Shalat Tarawih Menurut Para Ulama
1. Imam Hanafi
Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi dalam kitab Fathul Qadir bahwa Disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadhan sesudah Isya', lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih (istirahat), setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil).
Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20 rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan setiap istirahat dua salam dan setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.
2. Imam Maliki
Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata "Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir" lalu Imam Malik berkata "Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun". Aku berkata kepadanya, "inilah yang kudapati orang-orang melakukannya", yaitu perkara lama yang masih dilakukan umat.
Dari kitab Al-muwaththa', dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam Malik berkata, "Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka'ab dan Tamim al-Dari untuk shalat bersama umat 11 rakaat". Dia berkata "bacaan surahnya panjang-panjang" sehingga kita terpaksa berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, "Orang-orang melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadhan 23 rakaat".
Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik.
3. Imam as-Syafi'i
Imam Syafi'i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, "bahwa shalat malam bulan Ramadhan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di makkah dan mereka witir 3 rakaat.
Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut Syafi'iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadhan.
4. Imam Hambali
Imam Hambali menjelaskan dalam Al-Mughni suatu masalah, ia berkata, "shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat Tarawih", sampai mengatakan, "yang terpilih bagi Abu Abdillah (Ahmad Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat".
Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka'ab, dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka'ab, lalu dia shalat bersama mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali pada separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat dirumahnya maka mereka mengatakan, "Ubay lari", diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin Yazid.
5.Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani
Al Imam Ibnu Hajar Al Asqolani menjelaskan Hadits tentang Tarawihnya Khalifah Umar, dalam kitabnya Fathul Bari, beliau menulis :
" Penyempurnaan : Tidak ada penyebutan dalam riwayat ini berapa Rakaat shalat yang dilakukan Ubay Bin Ka'ab, dan para salaf berselisih atas hal ini, di dalam kitab Al Muwatho' dari Muhammad bin Yusuf dari Assaib bin Yazid bahwasanya sholatnya 11 rakaat, dan meriwayatkan Sa'id bin Manshur Dari jalur yang lain dan menambahkan dalam riwayat itu " Mereka para sahabat membaca 200 an ayat dan berpegang pada tongkat karena lamanya berdiri ", dan meriwayatkan Muhammad bin Nashr Al Marwazi dari jalan Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin Yusuf, berkata : 13 rakaat, dan meriwayatkan Abdurrozaq dari jalan yang lain dari Muhammad bin Yusuf, berkata 21 rakaat, dan meriwayatkan Malik dari jalan Yazid bin Khushaifah dari Assa'ib bin yazid 20 rakaat, dan ini di asumsikan selain witir.
Dan dari Yazid bin Rouman berkata " Para Manusia sholat tarawih di zaman Umar dengan 23 rakaat,
dan meriwayatkan Muhammad bin Nashr dari jalur Atho', berkata : Aku mendapati para sahabat di bulan Ramadhan sholat 23 rakaat dan 3 witir. Dan banyaknya riwayat-riwayat ini adalah adalah hal yang Mungkin, karena berbeda-bedanya haliyah (keadaan), dan di kompromikan bahwasanya perbedaan riwayat ini memandang dari panjang dan pendeknya bacaan, maka ketika bacaanya panjang maka sedikit rakaatnya dan sebaliknya. Dan pendapat ini di kuatkan Al Dawadi dan yang lain. Hitungan Rakaat yang awal (11 rakaat) ini mencocoki hadits A'isyah, dan pendapat ke dua (13 rakaat) mendekati hadits itu juga. Dan perbedaan riwayat jumlah rakaat yang melebihi 20 rakaat, maka kembali kepada perbedaan rakaat witir, karena sesungguhnya terkadang witir itu dilakukan 1 rakaat kadang 3 rakaat. Dan meriwayatkan Muhammad bin Nashr dari jalur Dawud bin Qois berkata : Aku mendapati para manusia di masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz -yakni di madinah- mereka shalat dengan 36 rakaat dan 3 rakaat witir, dan berkata Imam Malik hal itu adalah perkara yang terdahulu bagi kami. Dan dari Azza'faroni dari Asyafi'i, berkata : Aku melihat orang-orang di madinah sholat dengan 39 rakaat dan di Makkah 23 rakaat. Dan dari Asyafi'i : Apabila memanjangkan berdiri (bacaan) dan menyedikitkan sujud (rakaat), maka hal itu bagus, dan apabila memperbanyak sujud (rakaat) dan memperingan bacaan, itu juga bagus. Tapi yang awal lebih aku sukai.
6. Imam Tirmidzi
Berkata Attirmidzi : pendapat yang terbanyak di katakan dalam jumlah rakaat tarawih adalah 41 rakaat -yakni dengan witir-. Dan menuqil dari Ibnu Abdil Bar dari Al Aswad bin Yazid : Tarawih di kerjakan 40 rakaat dengan 7 rakaat witir, dan dikatakan 38 rakaat, seperti yang telah di tuturkan Muhammad bin Nashr dari Ibnu Aiman dari Imam Malik ".
( Fathul Bari Syarah Shohih Bukhori Juz 4 hal 253 Bab Kitabus Shalati Tarawih cet Dar Al Ma'rifah ).
7.Imam Ibnu Taymiyah
beliau menulis: "Telah diterima bahwa Ubay Ibn Ka´b biasa mengimami sembahyang untuk jamaah dengan 20 rakaat di bulan ramadlan dan3 rakaat witir. Dari sini, para ulama bersepakat 20 rakaat sebagai sunnat karena Ubay biasa mengimami jamaah yang terdiri atas Muhajirin dan Anshar dan tidak seorangpun di antara mereka menolaknya." (Fataawa Ibn Taymiyyah hal.112)
8.Imam Nawawi
Berkata Imam Nawawi dalam kitab "AI Majmu" syarah Al Mahazab begini:
"Dalam Madzhab kita Tarawih itu 20 raka'at dengan 10 salam, selain Witir". (Al Majmu' IV hal. 32).
9.Imam Syarbini
Berkata Imam Syarbini al Khathib:
"Dan tarawih itu 20 raka'at dengan 10 salam tiap-tiap bulan Ramadhan, demikian hadits Baihaqi dengan sanad yang sahih, bahwasanya sahabat sahabat Nabi mendirikan shalat pada masa Umar bin Khatab dalam bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat, clan merawikan Imam Malik dalam kitab al Muwatha' sebanyak 23 raka'at, tetapi Imam Baihaqi mengatakan bahwa yang tiga raka'at yang akhir ialah shalat witir.
(Mughni al Muhtaj, juzu' I, halaman 226).
10.Imam Jalaluddin Al-Mahalli
Berkata Imam Jalaluddin al Mahalli :
"Dan merawikan Imam Baihaqi dengan sanad yang sahih seperti yang dikatakan dalam syarah Muhazzab, bahwasanya Sahabat-sahabat Nabi shalat pada masa Umar bin Khathah sebanyak 20 raka'at". (Al Mahalli, juzu' I, halaman 217).
11.Imam Sayd Bakri
Berkata Imam Sayd Bakri Syatha :
"Dan shalat tarawih itu 20 raka'at dengan 10 salam, tiap-tiap malam bulan Ramadhan karena hadits Nabi "Barang siapa shalat di dalam bulan Ramadhan didorong oleh iman dan karena Allah semata-mata diampuni sekalian dosanya yang telah lalu. Wajib salam setiap 2 raka'at, maka jika dishalatkan 4 raka'at dengan 1 salam tidaklah sah" (la'natut Thalibin juzu' I, halaman 265).
12.Imam Ramli
Berkata Imam Ramli :
"Dan shalat tarawih itu 20 raka'at dengan 10 salam, karena riwayat yang mengatakan bahwasanya sahabat-sahabat Nabi mendirikan shalat tarawih dalam Malam Ramadhan pada zaman Umar bin Khathab sebanyak 20 raka'at." (Nihayatul Muhtaj, juzu' I, halaman 122).
13.Imam Zainuddin Al-Malibari
"Shalat Tarawih hukumnya sunnah, 20- raka'at dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadlan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu diampuni. Setiap dua raka'at haru salam. Jika shalat Tarawih 4 raka'at dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah......". (Zainuddin al Malibari, Fathul Mu'in, Bairut: Daral Fikr, juz I, h. 360).
Shalat di Masjidil Haram, Makah. Di sana, 23 rakaat diselesaikan dalam waktu kira-kira 90-120 menit. Surat yang dibaca imam ialah ayat -ayat suci Al-Qur'an dari awal, terus berurutan menuju akhir Al-Qur'an. Setiap malam harus diselesaikan kira-kira 1 juz lebih, dengan diperkirakan pada tanggal 29 Ramadhan (dulu setiap tanggal 27 Ramadhan) sudah khatam. Pada malam ke 29 Ramadhan itulah ada tradisi khataman Al-Qur'an dalam shalat Tarawih di Masjidil Haram.
Bahkan, di rakaat terakhir imam memanjatkan doa yangmenurut ukuran orang Indonesia sangat panjang sebab doa itu bisa sampai15 menit, doa yang langka dilakukan seorang kiai dengan waktu sepanjangitu, meski di luar shalat sekalipun.Dan terpapar di kitab Shalat al-Tarawih fi Masjid al-Haram bahwashalat Tarawih di Masjidil Haram sejak masa Rasulullah, Abu Bakar,Umar, Usman, dan seterusnya sampai sekarang selalu dilakukan 20 rakaatdan 3 rakaat Witir.
Pada kesimpilannya, bahwa pendapat yang unggul tentang jumlah raka'at shalat tarawih adalah 20 raka'at + raka'at witir jumlahnya 23 raka'at. Akan tetapi jika ada yang melaksanakan shalat tarawih 8 raka'at + 3 withir jumlahnya 11 raka'at tidak berarti menyalahi Islam. Sebabperbedaan ini hanya masalah furu'iyyah bukan masalah aqidah tidak perla dipertentangkan.
Wallahu a'lam bi al-shawab.
Piss Ktb
Pendapat para ulama mengenai jumlah rokaat sholat tarowwih
Pendapat para ulama’ mengenai sholat tarawih jumlah rakaatnya 20 roka'at bukan 8 roka’at :
Berdasarkan dalil dan kaedah di atas, para ulama’ dalam mazhab Syafi’e (Syafi’iyyah) mengistinbatkan bilangan rakaatnya seperti berikut:
1) Disebutkan di dalam Mukhtashar Al-Muzani:
أَنَّ اْلإِمَامَ الشَّافِعِيَّ رحمه الله قَالَ: رَأَيْتُهُمْ بِالْمَدِينَةِ يَقُومُونَ بِتِسْعٍ وَثَلاَثِينَ وَأَحَبَّ إِلَيَّ عِشْرُونَ لأَنَّهُ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَكَذَلِكَ بِمَكَّةَ يَقُومُونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ.
“Sesungguhnya Imam Syafi’e berkata: Aku telah melihat mereka di Madinah mendirikan (Solat Tarawih) denga 39 rakaat, dan aku menyukai 20 rakaat kerana telah diriwayatkan dari Umar. Dan begitu juga di Makkah, mereka mendirikan 20 rakaat dan mengerjakan Witir dengan 3 rakaat.”
2) Imam Nawawi berkata di dalam Syarh al-Muhazzab:
صَلاَةُ التَّرَاوِيحِ مِنَ النَّوَافِلِ الْمُؤَكَّدَةِ كَمَا دَلَّتْ عَلَى ذَلِكَ اْلأَحَادِيثُ الشَّرِيفَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً مِنْ غَيْرِ صَلاَةِ الْوِتْرِ، وَمَعَ الْوِتْرِ تُصْبِحُ ثَلاَثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً … عَلَى ذَلِكَ مَضَتِ السُّنَّةُ وَاتَّفَقَتِ اْلأُمَّةُ، سَلَفًا وَخَلَفًا مِنْ عَهْدِ الْخَلِيفَةِ الرَّاشِدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه وأرضاه – إِلىَ زَمَانِنَا هَذَا … لَمْ يُخَالِفْ فِي ذَلِكَ فَقِيهٌ مِنَ اْلاَئِمَّةِ اْلأَرْبعَةِ الْمُجْتَهِدِينَ إِلاَّ مَا رُوِىَ عَنْ إِمَامِ دَارِ الْهِجْرَةِ مَالِكٍ بْنِ أَنَسٍ رضي الله عنه اَلْقَوْلُ بِالزِّيَادَةِ فِيهَا، إِلىَ سِتٍّ وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً…فِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ عَنْهُ – مُحْتَجًّا بِعَمَلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فَقَدْ رُوِيَ عَن نَافِعٍ أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ رَمَضَانَ بِتِسْعٍ وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ مِنْهَا بِثَلاَثٍ
“Sholat Tarawih termasuk di dalam sholat Nawafil yang muakkad seperti mana yang ditunjukkan perkara itu oleh hadith-hadith yang mulia yang telah disebut terdahulu. Ia adalah sebanyak dua puluh rakaat selain dari sholat Witir. (Jika) bersama Witir maka ia menjadi 23 rakaat…atas jalan inilah berlalunya sunnah dan sepakat ummah, dari kalangan Salaf dan Khalaf dari zaman Khulafa’ ar-Rasyidin Umar ibn Al-Khattab, semoga Allah meredhainya dan dia meredhaiNya juga sampailah ke zaman kita ini…Tidak ada seorang pun ahli feqah dari kalangan empat imam mazhab (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) membantah perkara ini, melainkan apa yang diriwayatkan dari Imam Dar al-Hijrah, Imam Malik bin Anas tentang pendapat yang lebih bilangannya pada sholat Tarawih kepada 36 rakaat…Dalam riwayat kedua daripada Imam Malik, iaitu dengan hujahnya beramal dengan amalan penduduk Madinah iaitu: Sesungguhnya diriwayatkan dari Nafi’ sesungguhnya dia berkata: Aku mendapati orang ramai mendiri Ramadhan (sholat Tarawih) dengan 39 rakaat dan mereka mendirikan Witir daripadanya sebanyak 3 rakaat…”
Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni menambah:
…أَمَّا الرِّوَايَةُ الْمَشْهُورَةُ عَنْهُ، هِيَ الَّتِي وَافَقَ فِيهَا الْجُمْهُورُ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ عَلَى أَنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً وَعَلَى ذَلِكَ اتَّفَقَتِ الْمَذَاهِبُ اْلأَرْبعَةُ وَتَمَّ اْلإجْمَاعُ.
“Adapun riwayat yang masyhur daripada Imam Malik, iaitulah yang diittifaqkan Jumhur ulama’ dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah atas sholat Tarawih itu 20 rakaat. (Oleh itu) atas sebab perkara itulah (iaitu riwayat yang kedua ini), maka jadilah (sholat Tarawih sebanyak 20 rakaat) adalah ittifaq empat mazhab dan lengkaplah (ia menjadi) ijma’.”
3) Imam Nawawi juga menyebutkan di dalam Al-Majmu’:
مَذْهَبُنَا أَنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيمَاتٍ غَيْرِ الْوِتْرِ وَذَلِكَ خَمْسُ تَرْوِيحَاتٍ وَالتَّرْوِيحَةُ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيمَتَيْنِ… وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَصْحَابُهُ وَأَحْمَدُ وَدَاوُدُ وَغَيرُهُمْ وَنَقَلَهُ الْقَاضِيُّ عِيَاضٍ عَن جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ. وَقَالَ مَالِكٌ: اَلتَّرَاوِيحُ تِسْعُ تَرْوِيحَاتٍ وَهِيَ سِتَّةٌ وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً غَيْرُ الْوِتْرِ
“Mazhab kami ialah sesungguhnya ia 20 rakaat dengan 10 salam selain Witir. Jadi ada 5 rehat, dan setiap sekali rehat ada 4 rakaat dengan 2 salam…Dan mengikut juga pendapat inilah (iaitu 20 rakaat) oleh Abu Hanifah dan rakan-rakannya, Ahmad, Daud (azh-Zahiri) dan selain dari mereka. Al-Qadhi ‘Iyadh juga menukilkannya dari jumhur Ulama’. Imam Malik berkata: Sholat Tarawih ada 9 rehat iaitu 36 rakaat selain dari Witir.”
4) Imam Syarbini al-Khatib menyebutkan:
اَلتَّرَاوِيحُ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشَرِ تَسْلِيمَاتٍ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِن رَمَضَانَ لِمَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
“Dan Tarawih itu 20 rakaat dengan 10 salam setiap bulan Ramadhan. Demikiannlah hadith Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih bahawasanya sahabat-sahabat Nabi صلى الله عليه وآله وسلم mendirikan sembahyang pada masa Umar bin Al-Khattab dalam bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat. Dan Imam Malik meriwayatkan di dalam Al-Muwaththo’ sebanyak 23 rakaat, tetapi Imam Al-Baihaqi mengatakan bahawa yang tiga rakaat yang akhir ialah Sembahyang Witir.”
5) Imam Jalal ad-Din al-Mahalli berkata:
وَرَوَى الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ بِاْلإِسْنَادِ الصَّحِيحِ كَمَا قَالَ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً
“Dan Imam Al-Baihaqi dan selainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan di dalam Syarah al-Muhazzab bahawasanya para sahabat mendirikan sholat Tarawih pada zaman Umar bin Al-Khattab pada bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat.”
6) Al-Allamah al-Imam Ar-Ramli berkata:
وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيمَاتٍ في كُلِّ لَيْلَةٍ مِن رَمَضَانَ، لِمَا رُوِيَ أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً
“Dan ia (Sholat Tarawih) adalah 20 rakaat dengan 10 salam pada setiap malam dari malam-malam bulan Ramadhan kerana diriwayatkan bahawasanya para sahabat mendirikan sholat Tarawih pada zaman Umar bin Al-Khattab pada bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat.”
7) Imam Zainuddin bin Abd al-Aziz al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu’in menyimpulkan bahawa sholat Tarawih hukumnya sunat yang jumlahnya 20 rakaat:
وَصَلاَةُ التَّرَاوِيحِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيمَاتٍ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ (( مَن قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاِحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِهِ )) وَيَجِبُ التَّسْلِيمُ مِن كُلِّ رَكْعَتَيْن فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ تَصِحُّ.
“Sholat Tarawih hukumnya sunat, 20 rakaat dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadhan. Kerana ada hadith: Barang siapa melaksanakan (sholat Tarawih) di malam Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahulu diampuni. Setiap dua rakaat harus salam. Jika sholat Tarawih 4 rakaat dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah……”
Di dalam kitab Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah karangan Al-Allamah Abi Abdillah Muhammad bin Abdur Rahman ad-Dimasyqi al-Uthmani asy-Syafi’e pada Hamisy al-Mizan al-Kubra menyatakan:
فَصْلٌ: وَمِنَ السُّنَنِ صَلاَةُ التَّرَاوِيحِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عِندَ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِي وَأَحْمَدَ
وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيمَاتٍ وَفِعْلُهَا فِي الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ
“(Fasal): Dan termasuk dari sholat-sholat sunat ialah Sholat Tarawih pada bulan Ramadhan di sisi Abu Hanifah, Syafi’e dan Ahmad iaitu ia adalah sebanyak 20 rakaat dengan 10 salam. Dan mendirikannya secara berjama’ah adalah afdhal.”
9) Syaikh Abd al-Qadir ar-Rahbawi menyebutkan di dalam kitabnya As-Sholah ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah:
وَعَدَدُ رَكْعِتِهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً. وَهَذَا الَّذِي بَيَّنَهُ عُمَرُ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله بِفِعْلِهِ عِندَمَا جَمَعَ النَّاسَ أَخِيرًا فِي الْمَسْجِدِ، وَصَلاَتِهِمْ خَلْفَ إِمَامٍ وَاحِدٍ، وَوَافَقَهُ الصَّحَابَةُ عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَكُن لَهُمْ مُخَالِفٌ مِمَّن بَعْدَهُمْ مِنَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ…
“Dan bilangan rakaatnya (Sholat Tarawih) 20 rakaat. Dan inilah yang diterangkan oleh Sayyiduna Umar bin Al-Khattab dengan perbuatannya ketika mengumpulkan para sahabat akhirnya dalam masjid. Dan (menyuruh) mereka bersembahyang di belakang seorang imam. Para sahabat bersetuju atas perbuatannya itu dan tidak ada seorangpun Khalifah yang datang selepas mereka (selepas sahabat) yang menyalahkan mereka (Umar dan generasi sahabat yang melakukan 20 rakaat).”
10) Mufti Besar Negara Mesir, Al-Allamah Syaikh Ali Jum’ah [30] menyebutkan di dalam kitabnya Al-Bayan Lima Yasyghal al-Azhan:
وَالْحَقُ أَنَّ اْلأُمَّةَ أَجْمَعَتْ عَلَى أَنَّ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ عِشْرِينَ رَكْعَةً مِنْ غَيْرِ الْوِتْرِ، وَثَلاَثَ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ، وَهُوَ مُعْتَمَدُ الْمَذَاهِبِ الْفِقْهِيَّةِ اْلأَرْبَعَةِ: اَلْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ فِي الْمَشْهُورِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ.
“Dan yang benarnya (dalam perkara rakaat Tarawih) ialah, sesungguhnya umat Islam telah ijma’ ke atas Sholat Tarawih itu 20 rakaat tidak termasuk Witir, dan 23 rakaat termasuk Witir yang mana itulah yang mu’tamad (dipegang) oleh mazhab-mazhab feqah yang empat: Mazhab Hanafi, pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki, mazhab Syafi’e dan mazhab Hanbali.”
11) Di dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah disebutkan:
وَقَدْ ثَبَّتَ أَنَّ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ عِشْرُونَ رَكْعَةً سِوَى الْوِتْرِ
“Dan sesungguhnya telah tetaplah (thabit) bahawa Sholat Tarawih adalah 20 rakaat (menurut semua imam mazhab) selain Witir
12) Disebutkan di dalam kitab Al-Hady an-Nabawi ash-Shahih fi Solah at-Tarawih
karangan Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni:
قَالَ اْلإِمَامُ التِّرْمِذِي فِي جَامِعِهِ اَلْمُسَمَّى سُنَنِ التِّرْمِذِي: أَكْثَرَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى مَا رُويَ عَنْ عُمَرَ، وَعَلِيٍّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: عِشْرِينَ رَكْعَةً وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِي وَإِبْنِ الْمُبَارَكَ وَالشَّافِعِيّ وَقَالَ الشَّافِعِي : وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً . أهـ.
“Al-Imam At-Tirmizi berkata di dalam kitab Jami’nya yang bernama Sunan at-Tirmizi: Kebanyakan Ahl al-Ilm di atas pendapat seperti yang diriwayatkan dari Sayyiduna Umar, Sayyiduna Ali dan selain keduanya dari para sahabat Nabi صلى الله عليه وآله وسلم iaitu (mendirikan sholat Tarawih sebanyak) 20 rakaat. Ia adalah pendapat Sufyan ath-Thauri, Ibn Al-Mubarak, Syafi’e. Imam Syafi’e berkata: Dan beginilah aku mendapati orang ramai di Makkah mereka mendirikan (sholat Tarawih dengan ) 20 rakaat.” Intaha.
Ibn Rusyd menyebutkan di dalam Bidayah al-Mujtahid:
اِخْتَارَ مَالِكٌ – فِي أَحَدِ قَوْلَيْهِ – وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِي وَأَحْمَدُ اَلْقِيَامُ
بِعِشْرِينَ رَكْعَةً سِوَى الْوِتْرِ.
“Imam Malik telah memilih –dalam salah satu di antara dua pendapatnya-,
juga Abu Hanifah, Syafi’e, Ahmad dengan 20 rakaat selain Witir.”
Seterusnya Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni menyebutkan:
“Bahawa kedua Haramaian (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) juga menjadi panduan dan ikutan kita dalam perkara Sholat Tarawih 20 rakaat ini yang mana kedua-dua masjid suci ini mendirikan Sholat Tarawih dengan 20 rakaat sejak zaman dahulu lagi sehingga sekarang.”
__________________________________
Meskipun demikian bila shalat taraweh dilakukan kurang dari 20 rakaat juga telah mendapatkan kesunahan seperti keterangan dalam kitab at-tausyah Hal. 52
وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَة بعشر تسليمات وجوباً ولو صلي بدون عشرين حصل له ما فعله
“Shalat taraweh adalah 20 roka’at dengan sepuluh salaman secara wajib, bila seseorang shalat kurang dari 20 rokaat maka ia juga telah mendapatkan yang ia kerjakan”
Dan Sayidina umar menetapkan 20 rokaat itu juga dilakukan oleh Nabi saat bersama para sahabat pada suatu malam Ramadhan tanggal 13, 15 dan 27 namun Nabi dan para sahabat menyempurnakan tarawehnya di rumah masing-masing hingga 20 rakaat.
6 ً - صلاة التراويح: التراويح سنة مؤكدة للرجال والنساء لمواظبة النبي صلّى الله عليه وسلم والخلفاء الراشدين عليها، ويسن فيها الجماعة، بدليل أن النبي صلّى الله عليه وسلم صلاها جماعة في رمضان في ليالي الثالث والخامس والسابع والعشرين، ثم لم يتابع خشية أن تفرض على المسلمين، وكان يصلي بهم ثمان ركعات، ويكملون باقيها في بيوتهم، فكان يسمع لهم أزيز كأزيز النحل (1) .
__________
(1) رواه الخمسة عن جبير بن نُفَير عن أبي ذر، وصححه الترمذي، وأخرجه الشيخان عن عائشة (نيل الأوطار:50/3 وما
alFiqh ‘al-Islam II/224
Karenanya ulama madzhab 4 sepakat keberadaan sholat taraweh rakaatnya berjumlah 20 rakaat, kecuali sebagian kalangan malikiyah yang malah menyatakan 21 rakaat.
فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ - مِنَ الْحَنَفِيَّةِ ، وَالشَّافِعِيَّةِ ، وَالْحَنَابِلَةِ ، وَبَعْضِ الْمَالِكِيَّةِ - إِلَى أَنَّ التَّرَاوِيحَ عِشْرُونَ رَكْعَةً ، لِمَا رَوَاهُ مَالِكٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ مِنْ قِيَامِ النَّاسِ فِي زَمَانِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - بِعِشْرِينَ رَكْعَةً ، وَجَمَعَ عُمَرُ النَّاسَ عَلَى هَذَا الْعَدَدِ مِنَ الرَّكَعَاتِ جَمْعًا مُسْتَمِرًّا ، قَال الْكَاسَانِيُّ : جَمَعَ عُمَرُ أَصْحَابَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - فَصَلَّى بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً ، وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ فَيَكُونُ إِجْمَاعًا مِنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ (1) .
وَقَال الدُّسُوقِيُّ وَغَيْرُهُ : كَانَ عَلَيْهِ عَمَل الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ (2) .
وَقَال ابْنُ عَابِدِينَ : عَلَيْهِ عَمَل النَّاسِ شَرْقًا وَغَرْبًا (3) .
وَقَال عَلِيٌّ السَّنْهُورِيُّ : هُوَ الَّذِي عَلَيْهِ عَمَل النَّاسِ وَاسْتَمَرَّ إِلَى زَمَانِنَا فِي سَائِرِ الأَْمْصَارِ (4)
وَقَال الْحَنَابِلَةُ : وَهَذَا فِي مَظِنَّةِ الشُّهْرَةِ
__________
(1) بدائع الصنائع 1 / 288 ، وأثر عمر تقدم تخريجه ف 6 .
(2) حاشية الدسوقي 1 / 315 .
(3) رد المحتار 1 / 474 .
(4) شرح الزرقاني 1 / 284 .
alMausuu’ah alFiqhiyyah XXVII/147
Piss Ktb
Wallaahu A'lamu Bis showaab
Papaes Jeung Syahwat Dunya Jadi Cocoba Sakaligus Sarana Menuju Kabahagiaan Surg
KH. Abdul Aziz Affandymiftahul-huda.com
Alloh nyiptakeun dunya mangrupa papaés kaendahan pikeun manusa. Di dunya moal eureun tina kahayang anu dipikahayang, sahingga beurat pikeun urang bisa ngendalikeun diri pikeun menuju ka Allah kecuali caangna cahaya iman. Jelasna kayakinan bakal ngabalikeun urang tina papaés dunya. Kusabab kitu, ngalakukeun perkara anu nimbulkeun kakuatan iman teu meunang eureun.
Penjelasan
Alloh ngadawuh dina surat Al-Kahfi ayat 7 :
إِنَّا جَعَلۡنَا مَا عَلَى ٱلۡأَرۡضِ زِينَةٗ لَّهَا لِنَبۡلُوَهُمۡ أَيُّهُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗا ٧
“Saéstuna kami geus ngajadikeun saniskara anu aya di ieu bumi jadi papaés eukeurna, pikeun kami nyoba maranéhna saha ti antara anu panghadé-hadéna amalna”.
Dunya diciptakeun ku Alloh SWT. kalawan jadi papaes/kagindingan (kaendahan). Katempo endahna dunya ku panon, kadenge merenahna ku ceuli jeung satuluyna. Oge Alloh SWT maparin papaes pikeun manusa kana syahwat (kahayang).
Dawuh Alloh dina QS. Ali Imron ayat 14 :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ ١٤
“Geus dipapaesan jalma-jalma teh ku mikacinta kasenangan nafsu, nyaeta awewe, anak-incu, emas-perak anu loba mangpikul-pikul, kuda tunggang anu pinilih, sato ingon-ingon, sawah jeung kebon. Nya kitu papaes dunya teh, tapi di Alloh mah aya tempat mulang nu leuwih hade”.
Sairing leumpangna waktu, urang hirup di alam dunya tambah umur tambah kahayang, tambah umur tambah wawasan, tambah umur tambah harapan nu patali jeung ambisi ngaraih mangpirang-pirang papaes dunya. Urang salaku manusa moal eureun, moal ngarasa cukup, moal ngarasa puas terkait syahwat/ambisi di alam dunia tapi bakal ngarasa kurang jeung butuh. Da tos jelas didawuhkeun ku Alloh SWT.
Dina sakabeh bentuk nasib kahirupan, rek nu beunghar, nu miskin, nu jadi pengusaha, pejabat, rakyat, rek dimana wae, salila disebut keneh manusa jeung dunya mah bakal saling patali/berkaitan.
Tapi sing emut, aya dawuh Alloh SWT. dina akhir ayat Al-Kahfi : 7
.... لِنَبۡلُوَهُمۡ أَيُّهُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗا ٧
Yen sagala rupa kahirupan di alam dunya teh mangrupakeun rangkaian ujian ti Alloh, nu dina akhirna dunya bakal pisah jeung urang, atawa sumawonna urang bakal pisah ninggalkeun dunya. Lain nalika urang geus teu butuh, tapi malihan bisa wae nalika urang keur reresepna kana eta dunya.
Kakara ge urang boga mobil weuteuh, heug dikersakeun mobil teh aya nu maling. Kakara ge beres ngabangun imah dikersakeun musibah kahuruan, kakara ge rek niat rumah tangga der kalah dikawin batur, loba deui conto-conto bentuk kahirupan sejenna. Atawa bisa wae bentuk pisahna dunya teh urang nu dicabut nyawa ku Alloh SWT., urang maot ninggalkeun dunya.
Nu jadi permasalahanna nyaeta, kumaha carana sangkan dina pisahna urang jeung dunya -boh dina nalika dunya nu leungit ti urang, sumawonna nalika urang balik ka akherat (maot)- urang aya dina kaayaan tenang hate dipikaridlo ku Alloh, aya dina husnul khotimah ?
Teu aya deui carana kecuali eling ti ayeuna, kandelan imanan ku jalan taqwa. Sabab, kacida bahaya jeung cilaka nalika urang teu sadar/teu eling yen bakal pisah jeung dunya menuju kana kahirupan nu abadi, akherat.
Numawi saur Syekh Ibnu Ath-Thoillah (Al-Hikam hal. 100 juz 1) :
لَوْ أَشْرَقَ لَكَ نُوْرُ الْيَقِيْنِ لَرَأَيْتَ الآخِرَةَ أَقْرَبُ إِلَيْكَ مِنْ أَنْ تَرْحَلَ إِلَيْهَا، وَلَرَأَيْتَ مَحَاسِن الدُّنْيَا قَدْ ظَهَرَتْ كَسْفَةَ الْفَنَاءِ عَلَيْهَا.
“Lamun wae cahaya iman caang dina hate anjeun, tah yakin bakal apal yen akherat teh dekeut pikeun anjeun tibatan lumaku menuju ka akherat. Jeung yakin bakal apal anjeun kana jelas ruksakna (fana) papaes dunya”.
Dina hartos, sagala hal anu matak nimbulkeun kakuatan iman sabisa mungkin ulah dieureunan, malihan kudu leuwih ningkat. Sangkan kaimanan tambah kuat nyaeta ku jalan ngalaksanakeun parentah Alloh jeung ninggalkeun larangan-Na.
Numawi, dunya jeung eusina mangrupakeun papaes kaindahan pikeun manusa, oge Alloh ngadawuhkeun dina diri manusa aya kahayang (syahwat) anu bakal terus tambah. Tapi didawuhkeun ku Alloh yen dunya jeung eusina teh mangrupakeun lahan ujian pikeun manusa, nyakitu deui oge syahwat (ambisi, obsesi). Proses diri ngahindar tina fitnah dunya teh beurat, bisa dilakukeun ku jalan terus jeung terus diajar “ngadongkrak” ningkatkeun kaimanan diri. Lamun teu kitu, maka urang bakal jadi korban dunya, Naudzubillahi min dzalik.
Mudah-mudahan urang sing dipaparinan pitulung ku Alloh sangkan ningkat dina kaimanan, Amin Ya Robbal Alamin.
Kautamian Romadlon Kaitannana sareng Kaimanan
Oleh KH. Jaja Abdul Jabbar
www.miftahul-huda.com
Sakedap deui urang bakal mayunan sasih Romadlon. Urang sadayana kedah nyiapkeun manah anu lega pikeun mapagkeun sumpingna sasih Romadlon. Aya katerangan anu nyaurkeun :
مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانِ
“Saha jalma anu ngarasa bungah ku manjingna bulan Romadlon, maka Alloh ngaharamkeun jasad eta jalma asup kana naraka”.
Nyakitu, memang pantes moal pati-pati jalma ngarasa bungah ku asupna bulan Romadlon, kajaba kadorong ku kayakinan sareng kaimanan kana sagala rupa kaagungan jeung kautamaan anu aya dina sasih Romadlon. Nyatana maghfiroh Alloh, rohmat Alloh, kaberkahan sinareng manglipet-lipet ganjaran anu baris dipasikeun ku Alloh dina sasih Romadlon. Kusabab kitu, maka hatena ngarasa bungah nalika nyanghareupan bulan nu marema ku kasaean.
Beda jeung jalma nu kurang iman jeung kayakinan, datangna bulan Romadlon moal matak jadi kabungah, malahan mungkin disanghareupan ku hoream, sabab bertolak belakang jeung hawa nafsu. Nu mana dina bulan Romadlon bakal nyanghareupan rasa lapar, nahan haus anu ngalawanan kana hawa nafsu, tangtu lamun kurang iman jeung kayakinan lain bungah malihan leuwih susah.
Numawi pantes katerangan tadi, jalma nu ngarasa bungah kudatangna bulan Romadlon tinangtu didasaran ku kayakinan jeung kaimanan, maka Alloh ngaharamkeun jasadna asup naraka.
Sababaraha kautamian anu aya dina sasih Romadlon, diantawisna nyaeta :
1. Bulan Romadlon mangrupakeun bulan maghfiroh. Katampi ti Abi Hurairoh Ra. Rosululloh Saw. parantos ngadawuh :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (متفق عليه).
“Saha jalma anu puasa dina bulan Romadlon karna kadorong ku iman sinareng karena Alloh, maka eta jalma bakal dihampura sakabeh dosana anu tos tiheula”.
Tegesna dosa nu tos kaliwat tanpa kudu menta hampura, asal ngalaksanakeun puasa didasari ku iman, ikhlas semata-mata karna Alloh, maka tos aya dina jaminan Alloh bakal ngahampura sakabeh dosa nu tos kaliwat. Atuh, puasa bisa jadi kifarat tina dosa.
2. Dina bulan Romadlon aya hiji wengi nu disebut Lailatul Qodar. Dimana kaagungan Lailatul Qodar parantos didawuhkeun ku Alloh SWT. dina surat Al-Qodar ayat 3 :
لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٞ مِّنۡ أَلۡفِ شَهۡرٖ ٣
“Maleman nu mulya teh leuwih hade batan 1000 bulan”.
Lamun diitung, sabaraha taun ari 1000 bulan teh?, Dina sataun eta aya 12 bulan, tuluy ayeuna 1000 dibagi 12 hasilna nyaeta 83,4. Atuh jalma nu bisa ibadah dina Lailatul Qodar, eta nilaina langkung sae tibatan ibadah 83 tahun lebih 4 bulan, kacida luar biasa. Teu aya dina wengi sasih nu sanes waktos anu dilipat gandakeun pahala ibadah kajaba dina sasih Romadlon.
Ari dilipat gandakeunna pahala ningali kana 3 faktor :
- Ningali kana pelakuna, conto sapertos amal-amalan anu dilakukeun ku para Shahabat, eta luar biasa dibanding jeung nu sanesna. Dugi ka Rosululloh Saw. ngadawuhkeun :
لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَباً مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ
“Lamun bae salasahiji aranjeun ngainfaqkeun sagede gunung Uhud tina emas, maka nilai pahalana moal nepi kana sa mud anu diinfaqkeun ku para Shahabat, malah moal nepi kana satengahna ge”.
Ari para Shahabat eta Auliyaulloh (para Wali Alloh), infaqna sanaos saalit tapi bobotna luar biasa ageungna, sabab dina manahna aya Shidqu (bener-bener ikhlas teu aya motif sanes).
- Ningali dina tempatna, saperti Masjidil Harom sareng Masjid Nabawi. Sehingga pami ngalakukeun kasaean di Masjidil Harom eta sabanding 100.000 kasaean diluar Masjidil Harom. Conto sholat Dhuha 2 roka’at di Masjidil Harom eta sami sareng sholat sunat 300 tahun di luar Masjidil Harom. Pami di Masjid Nabawi dilipet gandakeun 1000 lipet, conto saperti netepan Dhuha 2 rokaat dimasjid Nabawi sami sareng sholat Dhuha 3 tahun di luar masjid Nabawi.
- Ningali kana waktuna, sapertos dilipat gandakeuna pahala ibadah nu dilakukeun dina Lailatul Qodar. Sahingga dina sawengi eta nilai pahalana leuwih alus tibatan 1000 bulan atanapi 83 tahun leuwih 4 bulan. Eta ayana dina bulan Romadlon nu sakedap deui bakal dongkap.
Jalmi anu ngaharepkun kasaean-kasaean ganjaran anu seueur ku ayana Romadlon nu bakal dongkap, pasti hatena bakal ngarasa bungah sabab bakal bisa nepi kana rupa-rupa kahadean anu seueur dina bulan Romadlon.
3. Puasa dina bulan Romadlon nyaeta hiji-hijina ibadah anu dipilih ku Gusti Alloh, sahingga ibadah puasa Romadlon mah disebutna ge “jang Kami”. Alloh SWT ngadawuhkeun dina Hadits Qudsi, anu diriwayatkeun ku Rosululloh Saw. :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ : قَالَ اللّه: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ.
“Katampi ti Abi Hurairoh Ra. Rosululloh Saw. parantos ngadawuh : Alloh SWT. parantos ngadawuh : Sakabeh amal-amal kahadean manusa eta pikeun manehna kecuali puasa (Romadlon), karna ari puasa mah jang Kami, jeung Kami bakal ngabales ka manusa ku sabab ngalakukeun eta puasa”.
Dina hartos puasa teh hiji-hijina amal anu deukeut kana ikhlas, sahingga dilakukeun semata-mata karna Alloh. Hubungannana antara diri jeung Alloh, sabab teu aya bentuk dhohir anu nuduhkeun yen diri keur puasa. Sedengkeun ari amal-amal anu sejen memang hese dilakukeun kalawan ikhlas, dina hartos deukeut kana riya (hayang kapuji ku manusa).
4. Puasa teh mangrupakeun hiji ibadah anu teu aya batasan gede ganjaranna. Rosululloh Saw. ngadawuhkeun :
اَلصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ. (رواه الترمذي)
“Ari puasa teh satengah tina kashobaran”. (HR. Ath-Thirmidzi)
Disambungkeun kana Dawuh Alloh SWT. dina surat Az-Zumar ayat 10 :
.....إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٖ ١٠
“......Ngan wungkul jalma-jalma anu salabar anu dicumponan ganjaranana tanpa wilangan teh”.
Diibaratkeun saperti jalma anu meunang gaji mangrupa cek, anu teu ditangtukeun sabaraha nominal angkana, tegesna bebas jumlah artosna ditangtukeun kunu narimana.
Tah nyakitu oge puasa, Alloh SWT. teu masihan batesan ganjaran pikeun jalma anu puasa dina bulan Romadlon. Gumantung kumaha tingkatan puasana, kantun urang nyiapkeun kualitas puasa nu sae.
Mudah-mudahan urang sadaya dipaparinan kakiatan dina ningkatkeun kualitas puasa dina sasih Romadlon nu bakal dongkap, sahingga tiasa kenging rupi-rupi kautamian anu dipaparinkeun ku Alloh SWT. dina sasih Romadlon. Amin Yaa Robal Alamin.
Puasa dan sholat penduduk kutub dan luar angkasa
Assalaamu 'alaikum...
Sesuai Fiqh, definisi puasa adalah : “menahan haus dan lapar dan segala yang membatalkannya, mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari”
.
Tapi taukah anda ….?? Konon Diwilayah Antartika tiap hari siang melulu. Gak ada malamnya. Matahari tak pernah terbenam. Di bulan bulan tertentu, Matahari 24 jam selalu ada. Jadi kapan mulai sahurnya…. ?? Kapan mulai buka puasanya…??
Wilayah Antartika ini adalah sebagian wilayah Rusia, Kanada, Norwegia dan sekitarnya. Di Eropah sendiri juga terdapat Matahari dengan kondisi seperti ini walau tidak 24 jam selalu “mengudara”.
.
Termasuk Astronot di luar angkasa gak kenal siang dan malamnya jika wahana angkasa yang mereka kendarai selalu berhadapan dengan matahari (tak terhalang oleh planet manapun).
hatur nuhun...
===========
Af-idahtus Sholihah
wa'alaykumussalaam...wr.wb
Puasa & Shalat Penduduk KUTUB
Oleh:Yai Masaji Antoro
MENGIKUTI WAKTU PUASA DAN SHALAT DAERAH TERDEKAT
وَفِي بَعْضِ الْمَنَاطِقِ لاَ تَغِيبُ الشَّمْسُ مُطْلَقًا .
ذَهَبَ بَعْضُ عُلَمَاءِ الْحَنَفِيَّةِ إِلَى عَدَمِ سُقُوطِ هَذِهِ الصَّلَوَاتِ عَنْهُمْ ، وَيُقَدِّرُونَ لِكُل صَلاَةٍ وَقْتًا ، فَفِي السِّتَّةِ الأَْشْهُرِ الَّتِي تَسْتَمِرُّ فِي نَهَارٍ دَائِمٍ يُقَدِّرُونَ لِلْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَالْوِتْرِ وَالْفَجْرِ وَقْتًا ، مِثْل ذَلِكَ السِّتَّةُ الأَْشْهُرِ الأُْخْرَى يُقَدِّرُونَ لِلصُّبْحِ وَالظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَقْتًا ، بِاعْتِبَارِ أَقْرَبِ الْبِلاَدِ الَّتِي لاَ تَتَوَارَى فِيهَا الأَْوْقَاتُ الْخَمْسَةُ ….
وَذَهَبَ بَعْضُ فُقَهَاءِ الْحَنَفِيَّةِ إِلَى سُقُوطِ الصَّلَوَاتِ الَّتِي لَمْ يَجِدُوا وَقْتًا لَهَا ؛ لأَِنَّ الْوَقْتَ سَبَبٌ لِلْوُجُوبِ ، فَإِذَا عُدِمَ السَّبَبُ - وَهُوَ الْوَقْتُ - عُدِمَ الْمُسَبَّبُ وَهُوَ الْوُجُوبُ . (1)
وَذَهَبَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ ، وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ (2) إِلَى تَقْدِيرِ مَغِيبِ شَفَقِ أَقْرَبِ الْبِلاَدِ إِلَيْهِمْ ، فَإِذَا كَانَ أَقْرَبُ الْبِلاَدِ إِلَيْهِمْ يَغِيبُ فِيهَا الشَّفَقُ بَعْدَ سَاعَةٍ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ ، وَمُدَّةُ اللَّيْل فِي هَذِهِ الْبِلاَدِ ثَمَانِي سَاعَاتٍ ، فَيَكُونُ أَوَّل الْعِشَاءِ عِنْدَهُمْ بَعْدَ سَاعَةٍ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ ، وَإِذَا كَانَتْ مُدَّةُ اللَّيْل فِي الْبِلاَدِ الَّتِي لَيْسَ فِيهَا عِشَاءٌ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ سَاعَةً ، فَيُقَدَّرُ مَغِيبُ الشَّفَقِ عِنْدَهُمْ بِسَاعَةٍ وَنِصْفٍ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ ؛ لأَِنَّ مُدَّةَ بَقَاءِ الشَّفَقِ فِي أَقْرَبِ الْبِلاَدِ إِلَيْهِمْ سَاعَةٌ ، وَهِيَ تُعَادِل الثُّمُنَ مِنَ اللَّيْل ؛ لأَِنَّ اللَّيْل عِنْدَهُمْ ثَمَانِي سَاعَاتٍ ، وَالْبِلاَدُ الَّتِي لَيْسَ فِيهَا عِشَاءٌ وَلَيْلُهَا اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً ، يُقَدَّرُ لِغِيَابِ الشَّفَقِ ثُمُنَ هَذِهِ الْمُدَّةِ ، وَهِيَ سَاعَةٌ وَنِصْفٌ .
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى وُجُوبِ قَضَاءِ الْعِشَاءِ عَلَى أَهْل هَذِهِ الْبِلاَدِ ، وَلاَ يَسْقُطُ عَنْهُمْ . (1)
__________
(1) الدر المختار ورد المحتار عليه 1 / 242 ، 244 .
(2) بلغة السالك 1 / 72 ، والمنهاج 1 / 110 .
(1) المنهاج 1 / 110 .
DAERAH YANG MATAHARINYA TIDAK TENGGELAM
Sebagian Ulama kalangan Hanafiyah berpendapat shalat bagi mereka tidak semata menjadi gugur, namun masing-masing waktu shaltnya diperkirakan dengan daerah terdekat mereka
Sebagian kalangan Hanafiyah menilai gugurnya kewajiban shalat yang waktunya tidak mereka jumpai didaerah tersebut karena kewajiban shalat bergantung pada waktu yang akan hilang saat waktu shalatnya tidak mereka temukan.
Sebagian kalangan Malikiyyah dan pernyataan yang dijadikan madzhab dikalangan syafiiyyah memilih: diperkirakan dengan waktu daerah terdekat dengan mengurangi atau menambahi seukuran dekat jauhnya jarak kedua daerah.
Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah VII/187-188
وقال إمام الحرمين وغيره : لا خلاف أن الشمس تغرب عند قوم وتطلع على آخرين ، والليل يطول عند قوم ويقصر عند آخرين ، وعند خط الاستواء يكون الليل والنهار مستويين أبداً . وسئل الشيخ أبو حامد عن بلاد بلغار كيف يصلون فإنه ذكر أن الشمس لا تغرب عندهم إِلا بمقدار ما بين المغرب والعشاء ثم تطلع فقال : يعتبر صومهم وصلاتهم بأقرب البلاد إليهم ، والأحسن وبه قال بعض الشيوخ أنهم يقدرون ذلك ويعتبرون الليل والنهار ، كما قال في يوم الدجال الذي كسنة وكشهر : ( اقدروا له ) حين سأله الصحابي عن الصوم والصلاة فيه
Berkata Imam Haramain dan lainnya “Tiada perbedaan pendapat bahwa matahari tenggelam disuatu kaum dan terbit dikaum lainnya, malam menjadi panjang disuatu kaum dan terasa dikaum lainnya, saat berada digaris katulistiwa malam dan siang selamanya akan sama”
Ditanyakan pada Syekh Abu Hamid tentang daerah Bulgaria bagaima penduduknya menjalankan shalat karena disebutkan matahari tiada tenggelam disana kecuali sekedar waktu antara maghrub dan isya’ kemudian mataharinya muncul kembali ?
Syekh Abu Hamid menjawab “Puasa dan shalatnya dipertimbangkan pada daerah terdekat mereka”
Begitu jugalah jawaban sebagian Masyayikh “Diperkirakan dan dan dipertimbangkan akan malam dan siangnya” dengan berlandaskan sebagaimana jawaban Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam
قَالَ أَرْبَعُونَ يَوْمًا يَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَلِكَ الْيَوْمُ الَّذِي كَسَنَةٍ أَتَكْفِينَا فِيهِ صَلَاةُ يَوْمٍ قَالَ لَا اقْدُرُوا لَهُ ، رواه مسلم واحمد
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah perihal lamanya dajjal di dunia, maka Rasulullah menjawab :” masa dajjal hanya 40 hari, hari pertama seperti satu tahun, hari kedua seperti satu bulan, hari ketiga seperti satu minggu, lalu hari-hari berikutnya seperti hari-hari kalian (24 jam). Kami lalu bertanya :” Ya Rasulullah, apakah satu hari seperti satu tahun lamanya cukup bagi kami mengerjakan shalat satu hari saja (5 waktu dalam hari yang lamanya setahun) ?, Nabi menjawab :” tidak, akan tetapi ukurlah sesuai waktu shalat kalian dalam hari-hari biasa !”. (H.R. Muslim dan Ahmad)
Tuhfah al-Muhtaaj II/26
والله أعلمُ بالـصـواب
CARA PUASA DAN SHALAT ASTRONOT DI LUAR ANGKASA
Oleh:Ust.Ibnu Toha
>> waktu puasa boleh diganti pada hari-hari yg lain : sebab dalam status musafir.
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS Al-Baqoroh 185)
>> waktu sholat : dikira-kirakan sehari 24 jam, sebagaimana waktu hari-hari penduduk bumi sekarang.
قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَلِكَ الْيَوْمُ الَّذِى كَسَنَةٍ أَتَكْفِينَا فِيهِ صَلاَةُ يَوْمٍ ؟ قَالَ « لاَ اقْدُرُوا لَهُ قَدْرَهُ
Kita (para sahabat) bertanya kembali, "Wahai Rasulullah, apakah pada hari yang lamanya seperti satu tahun itu cukup bagi kita mengerjakan shalat –lima waktu– sekali saja?" Rasulullah kemudian menjawab, "Tidak, akan tetapi tentukanlah waktu seperti biasanya (dan dirikanlah shalat sesuai ketentuan waktu tersebut)". (HR Shahih Muslim)
>> jika tidak terdapat air wudhu atau tidak terdapat debu untuk tayammum : maka shah sholat dalam keadaan begini walau tanpa wudhu dan tayammum.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَاأَنَّهَا اسْتَعَارَتْ مِنْ أَسْمَاءَ قِلَادَةً فَهَلَكَتْ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِهِ فِي طَلَبِهَا فَأَدْرَكَتْهُمْ الصَّلَاةُ فَصَلَّوْا بِغَيْرِ وُضُوءٍ فَلَمَّا أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَكَوْا ذَلِكَ إِلَيْهِ فَنَزَلَتْ آيَةُ التَّيَمُّمِ فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ جَزَاكِ اللهُ خَيْرًا فَوَاللهِ مَا نَزَلَ بِكِ أَمْرٌ قَطُّ إِلَّا جَعَلَ اللهُ لَكِ مِنْهُ مَخْرَجًا وَجَعَلَ لِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ بَرَكَةً
Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha bahwa beliau meminjam kepada Asma' sebuah kalung lalu kalung itu rusak. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam perintahkan orang-orang dari para shahabat beliau untuk mencarinya. Kemudian waktu shalat tiba dan akhirnya mereka shalat tanpa berwudhu. Ketika mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mereka mengadukan kejadian tersebut. Maka kemudian turunlah ayat tentang perintah bertayamum. Lalu Usaid bin Hudhair radhiallahu 'anhu berkata, "Semoga Alah memberi balasan kebaikan kepada Anda ('Aisyah). Demi Allah, tiadalah datang suatu problem kepada Anda melainkan Allah memberikan jalan keluarnya dan menjadikan hal itu sebagai barakah buat kaum muslimin". (HR. Muttafaqun Alaih).
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengingkari hal tersebut, dan tidak menyuruh mereka untuk mengulangi shalatnya. Hal ini menunjukkan bahwasannya shalat adalah suatu kewajiban, dan dikarenakan thaharah adalah syarat maka janganlah Anda mengakhirkan shalat ketika tiadanya thaharah.
Al-Mughni Ma’a asy-Syahru al-Kabir : 1/251)
والله أعلمُ بالـصـواب
===
Link diakusi:
https://m.facebook.com/groups/196355227053960?view=permalink&id=1005661859456622&_rdr#1006833426006132
Langganan:
Postingan (Atom)