Sabtu, 20 Juni 2015
Menjadi Kismis Sebelum Menjadi Anggur
Kisah yang akan diceritakan ini berasal dari kitab Al-Asybah wa Al-Naza’ir karangan Ibn Nujaim Al-Hanafi, lalu dikisahkan kembali oleh Syeikh Zahid Al-Kauthari dalam kitabnya Husnu Al-Taqadhi fi Sirah Abi Yusuf Al-Qadhi.
Kisah ini berkenaan dengan Imam Ya’qub bin Ibrahim Al-Ansari; masyhur dengan panggilan Abu Yusuf (w. 182 H). Beliau murid kesayangan Imam Abu Hanifah. Beliau sangat bijak, hafalannya kuat dan banyak ilmu. Di antara ramai murid Abu Hanifah yang lain, Abu Yusuf selalu terdepan dalam semua perkara.
Pada suatu hari, Abu Yusuf merasa ilmu yang dimilikinya sudah mencukupi. Saatnya untuk menjadi tokoh ulama yang siap menjawab semua permasalahan umat. Beliau lalu meninggalkan majlis Abu Hanifah dan membuka majelis ilmu sendiri. Dalam majelis itu, Abu Yusuf mempersilakan setiap orang untuk menimba ilmu atau mengajukan soalan kepadanya.
Mengetahui perkara ini, Abu Hanifah berniat menyadarkan muridnya. Diam-diam, beliau mengutus seseorang ke majelis Abu Yusuf dengan beberapa soalan untuk mengujinya.
Orang itu berkata kepada Abu Yusuf: “Saya menyerahkan sepotong kain kepada penjahit untuk dijadikan baju. Apabila saya tanyakan, penjahit itu mengingkari pernah menerima kain daripada saya. Namun esoknya, ia memberi saya kain itu yang telah dijahit menjadi baju. Soalan saya: apakah ia berhak menerima upah?”
Abu Yusuf menjawab: “Ia berhak menerima upah.” Orang itu berkata: “Jawapanmu salah.”
Abu Yusuf merubah jawabannya: “Ia tidak berhak menerima upah.” Orang itu kembali berkata: “Jawapanmu salah.” Abu Yusuf menjadi sangat bingung.
Orang yang telah dilatih Abu Hanifah ini lalu berkata: “Jawaban yang benar adalah: jika baju itu dijahit sebelum ia mengingkari kain, maka ia berhak menerima upah. Namun jika kain itu dijahit setelah ia mengingkari kain, maka ia tidak berhak.”
Orang ini terus mengajukan beberapa soalan lain. Setiap kali Abu Yusuf menjawab, ia menyalahkan jawabannya lalu mengajukan jawaban yang tepat.
Diskusi ini jadi menyadarkan Abu Yusuf akan kejahilan dirinya. Dirinya ternyata belum layak menjadi seorang ulama, malah masih perlu banyak belajar daripada ulama. Akhirnya, beliau memutuskan kembali ke majelis ilmu Abu Hanifah untuk melanjutkan pengajiannya.
Apabila melihat Abu Yusuf, Abu Hanifah tersenyum dan berkata: “Engkau telah menjadi kismis sebelum menjadi anggur.”
Hukum Kesempurnaan
Kisah ini sangat inspiratif. Seringkali kita melihat diri kita begitu besar dan matang, padahal pada kenyataannya masih begitu kecil dan mentah.
Sebuah kesempurnaan dan kematangan tidak pernah datang begitu sahaja. Ianya merupakan hasil dari suatu proses. Proses ini terdiri dari beberapa tahapan. Antara satu tahapan kepada tahapan yang lain seringkali memerlukan masa yang cukup panjang.
Hukum ini berlaku untuk semua makhluk hidup. Seekor ulat menghabiskan masa berhari-hari di dalam kepompong sebelum menjadi rama-rama yang cantik. Bahkan sebiji anggur sebelumnya mentah, lalu masak, kemudian kering dan menjadi kismis.
Sesiapa yang tidak sabar menjalani semua ini, maka proses kesempurnaan itu akan terbantut. Lalu ia tidak akan pernah sempurna selama-lamanya.
Hukum kesempurnaan ini juga berlaku untuk semua disiplin ilmu atau kerjaya yang kita pilih. Seorang dokter pakar memerlukan masa yang panjang sebelum menjadi spesialis di bidang perubatan. Begitu juga seorang jurutera, penulis, pelakon apalagi ulama Islam yang menjadi rujukan umat.
Jadi, jalan menuju kepakaran sangat panjang. Sesiapa yang menjalaninya dengan sabar, suatu hari akan tampil sebagai pakar yang disegani. Dan pendapatnya dalam disiplin itu diakui sebagai pandangan yang berwibawa.
Sebaliknya, sesiapa yang tak sabar menjalaninya, lalu mendakwa pakar sebelum masanya, maka ia telah kering sebelum matang, menjadi kismis sebelum menjadi anggur. Oleh itu, ucapan dan pendapatnya tidak mengandungi nilai ilmiah sama sekali.
Dalam kaidah fiqh ada disebutkan:
مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“Sesiapa yang ingin memiliki sesuatu sebelum masanya, maka ia diharamkan daripada memiliki sesuatu itu.”
Orang seperti ini ibarat pokok yang belum tertanam dengan sempurna, maka buah yang keluar daripadanya pun tidak bermutu tinggi. Berkata Syeikh Ibn ‘Athoillah Al-Sakandari dalam Al-Hikam:
ادْفِنْ وجودَك في أرضِ الخمولِ فما نَبَتَ مما لم يُدْفَنْ لا يَتِمُّ نَتَاجُه
“Tanamlah dirimu di dalam tanah kehinaan / kerendahan (khumul). Sebab apa-apa yang tumbuh dari pokok yang tidak tertanam tidak akan sempurna buah/hasil nya.”
Sebelum merusak orang lain, sikap “ingin cepat besar” ini akan merusak dirinya sendiri. Ia akan tersibukkan dengan berbagai perkara sehingga tidak sempat lagi menimba ilmu. Dan, perasaan takut dilihat bodoh dan khuatir ditinggalkan pengikut akan menjauhkan dirinya daripada jalan peningkatan ilmu.
Al-Hafiz Ibn Hajar dalam Fathul Bari menukil ucapan berikut ini dari Imam Al-Syafii:
إِذَا تَصَدَّرَ الْحَدَث فَاتَهُ عِلْم كَثِير
“Apabila orang yang baru belajar telah maju ke hadapan (yakni: hendak menjadi tokoh besar), maka ia terluput ilmu yang sangat banyak.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar