Senin, 25 Mei 2015

WAHDATUL WUJUD BERBEDA DENGAN PAHAM HULUL (menempat) DAN ITTIHAD (menyatu)

Deskripsi Masalah:
Thariqah Akbariyah yang didirikan oleh Imam Ibnu Arabi termasuk Thariqah Mu’tabarah. Sedangkan Imam Ibnu Arabi mempunyai ajaran yang intinya Wahdatul Wujud.

Pertanyaan:
a. Apakah yang dimaksud dengan Wahdatul Wujud menurut Imam Ibnu Arabi?
b. Apakah bedanya antara Wahdatul Wujud dengan aliran Ittihad dan Hulul?
c. Bagaimanakah hukumnya paham Wahdatul Wujud, Ittihad dan Hulul?

Jawab:
a. Imam Ibnu Arabi ra tidak mempunyai doktrin Wahdatul Wujud dalam arti Ittihad dan Hulul, dan tidak pernah mengajarkannya kepada orang lain melalui lisan maupun tulisan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ulama yang merespon, menyanjung-nyanjung beliau. Antara lain ialah:

1) Imam Sya’roni di dalam kitab :
(الطبقات الكبرى، الجزء الأول، ص 188)
menyatakan yang artinya: “Telah sepakat semua ulama muhaqqiqin atas keagungan Ibnu Arabi ra di dalam semua ilmu sebagaimana dibuktikan dengan saksi karya tulisnya yang amat banyak.”

2) Syekh Quthbuddin al-Hamawy dalam kitab :
( اليواقيت، الجزء الأول، ص 9 )
menyatakan yang artinya “Ibnu Arabi ra tentang ilmunya, zuhudnya, dan ma’rifatnya bagaikan lautan yang amat luas tiada bertepi.”

3) Imam Fahrur Razi juga dalam kitab :
(اليواقيت، الجزء الأول، ص 9 )
mengakui keagungan dan kebesaran Syekh Ibnu Arabi dengan menyatakan “Imam Ibnu Arabi ra itu adalah seorang wali yang agung.”

4) Imam Syuhrawardi berkata: “Sungguh Ibnu Arabi ra itu seorang yang amat sempurna dan tahqiq, mempunyai banyak kesempurnaan dan karomah.”

5) Imam al-Bulqini mengatakan: “Demi Allah, sungguh dusta dan mengada-ada barang siapa menuduh Ibnu Arabi berpaham Hulul dan Ittihad.”

6) Imam Izzuddin bin Abd Salam berkata: “Aku tidak tahu wali qutub pada zaman kita ini selain Ibnu Arabi.” lihat kitab :

(الموسوعة اليوسفية , ص /455 و اليواقيت والجواهر, الجزء الأول, ص/ 11 )
Dan juga bisa dibuktikan di dalam kitab-kitab yang beliau tulis. Antara lain Futuhul Makiyah.

1) Di dalam Aqidah Shughra:

تعالى الحق أن تحله الحوادث أو يحلها.

2) Di dalam Aqidah Wustha:

اعلم أن الله تعالى واحد بالإجماع ومقام الواحد يتعالى أن يحل فيه شيء أو يحل في شيء أو يتحد في شيء

3) Di dalam Bab Asrar:

من قال بالحلول فهو معلول فإن القول بالحلول مرض لا يزول، وما قال بالإتحاد إلا أهل الإلحاد كما أن القائل بالحلول من أهل الجهل والفضول.

Sebab-sebab munculnya tuduhan terhadap Imam Ibnu Arabi ra mengikuti paham Wahdatul Wujud, Hulul dan Ittihad ialah:
4) Banyaknya tangan-tangan jahil yang menyisipkan paham-paham sesat ke dalam tulisan Imam Ibnu Arabi ra, terutama ke dalam kitab Futuhul Makiyah dan kitab Fushushul Hikam.

ومأخذه :
التحذير الشرعي للمحدث عبد الله بن محمد الهروي ( الجزء الأول, ص /15) ونصه :
وأكثر ما في كتابيه المذكورين (الفتوحات والفصوص) مما هو مدسوس عليه مما ليس من كلامه كلمات الوحدة المطلقة

5) Kebanyakan orang-orang Islam yang melakukan pengkajian tentang Imam Ibnu Arabi ra telah bersalah besar. Sebab mereka mengikuti sistem orang-orang Orientalis (al-Mustasyriq) dan menganalisa dengan teori falsafah. Padahal masalah ini (wahdatul wujud) sama sekali tidak ada hubungannya dengan falsafah Aflatun (Plato) atau Qadyani Hindia, baik hubungan dekat maupun jauh. Jadi sumber kesalahan pembahasan tentang Imam Ibnu Arabi ra adalah dari orang-orang Orientalis, sebagaimana Philip K. Hitty, Bruklaman, Jarjizaydan. Masalah Wahdatul Wujud yang tidak bisa diketahui kedalamannya kecuali dengan Iman, Mujahadah, Ma’rifah dan Mukasyafah, bagaimana akan bisa diketahui oleh orang-orang Orientalis yang kafir itu. Di dalam kitab at-Tashawwuf asy-Syar’iy yang ditulis oleh Sayyid Nur halaman 93 dikatakan:

ومأخذه :
التصوف الشرعي ( ص / 93 ) و نصه :
ومعظم الباحثين المسلمين اخطؤوا في هذه المسألة (وحدة الوجود) واتبعوا طريقة المستشرقين وشرحوها بالفكرة الفلسفية، والحقيقة أن هذه المسألة ليست لها علاقة وصلة بالفكر الفلسفي الأفلاطوني أو القدياني الهندي لا من قريب ولا بعيد، ومركز الخطاء في هذا البحث هم المستشرقون.

Jawab:
b. Adapun definisi Wahdatul Wujud ialah sebagai berikut: Wahdatul Wujud artinya kesatuan wujud. Sedangkan di dalam istilah ada dua pengertian:

1) Pengertian yang benar yaitu wujudnya Allah SWT yang Qadim yakni tidak berpermulaan sejak azali yakni tidak ada makhluk, maha Satu, tidak berbilang, tidak bersatu dengan wujudnya makhluk, tidak bertempat pada makhluk, dan tidak ditempati oleh makhluk. Dengan demikian wujudnya makhluk tidak termasuk Wahdatul Wujud ini. Sebab wujud makhluk baru adanya, dari tidak ada menjadi ada. Jadi wujud yang sesungguhnya hanyalah satu yaitu wujudnya Allah SWT. Sedangkan wujudnya makhluk adalah wujud majazy.

2) Pengertian yang salah yaitu mengartikan wahdatul Wujud dengan arti menyetukan Allah SWt dengan makhluk-Nya, tidak bias dipisahkan. Allah SWt adalah makhluk dan makhluk adalah Allah. Ini adalah Wahdatul Wujud yang kufur, zindiq lebih sesat dari pada Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala.

ومأخذه :
الموسوعة اليوسفية للشيخ يوسف خطار ( ص/ 436 ) و نصه :
إن القول بوحدة الوجود وان الوجود واحد هو الحق تعالى يحتمل معنيين، أحدهما حق والثاني كفر، فالقائلون بوحدة الوجود فريقان الفريق الأول أرادوا به اتحاد الحق بالخلق وانه لا شيء في هذا الوجود سوي الحق وان الكل هو وانه هو الكل، فقوله هذا كفر وزندقة وأشد ضلالة من أباطل اليهود والنصارى وعبدة الأوثان. الفريق الثاني قالوا ببطلان وكفر ما ذكر،من أن الخالق عين المخلوق وانما أرادوا بوحدة الوجود القديم الأزلي وهو الحق تعالى فهو لا شك واحد منزه عن التعدد ولم يقصدوا بكلامهم.

Adapun Ittihad ialah menyatunya Dzat Allah SWT dengan makhluk-Nya, sehingga tidak bisa dibedakan. Sedangkan Hulul ialah bertempatnya Allah SWT di dalam makhluk-Nya dan bertempatnya makhluk di dalam Dzat Allah SWT.

Jawab:
c. Hukum Wahdatul Wujud dalam arti Ittihad dan Hulul adalah kufur.

ومأخذه :
(1) الحاوي للفتاوى للسيوطي، الثاني ص 133 ونصه :
وإن فسر قوله بما يقتضي الحلول كان كافرا مرتدا فيستتاب ثلاثة أيام فإن تاب وإلا قتل كفرا ولا يدفن فى مقابر المسلمين. إهـ،
(2) مجموع فتاوى ورسائل السيد علوي المالكس( ص /195 ) ونصه :
القائل بالحلول والإتحاد ليس من المسلمين بالشريعة، إهـ.


Dalam tinjauan al-Hafiszh as-Suyuthi, keyakinan hulûl dan ittihâd secara hitoris awal mulanya berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan menyatu dengan nabi Isa, dalam pendapat mereka yang lain menyatu dengan nabi Isa dan ibunya; Maryam sekaligus. Hulûl dan ittihad ini sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam. Bila kemudian ada beberapa orang yang mengaku sufi meyakini dua akidah tersebut atau salah satunya, jelas ia seorang sufi gadungan. Para ulama, baik ulama Salaf maupun Khalaf dan kaum sufi sejati dan hingga sekarang telah sepakat dan terus memerangi dua akidah tersebut. (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, Pembahasan lebih luas tentang keyakinan kaum Nasrani dalam teori hulûl dan Ittihâd lihat as-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, h. 178-183).

Al-Imâm al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa seorang yang berkeyakinan hulûl atau ittihad jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum Nasrani. Karena bila dalam keyakinan Nasrani Tuhan meyatu dengan nabi Isa atau dengan Maryam sekaligus (yang mereka sebut dengan doktrin trinitas), maka dalam keyakinan hulûl dan ittihad Tuhan menyatu dengan manusia-manusia tertentu, atau menyatu dengan setiap komponen dari alam ini.

Demikian pula dalam penilaian Imam al-Ghazali, jauh sebelum as-Suyuthi, beliau sudah membahas secara gamblang kesesasatan dua akidah ini. Dalam pandangan beliau, teori yang diyakini kaum Nasrani bahwa al-lâhût (Tuhan) menyatu dengan al-nâsût (makhluk), yang kemudian diadopsi oleh faham hulûl dan ittihâd adalah kesesatan dan kekufuran (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130). Di antara karya al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan kesesatan faham hulûl dan ittihâd adalah al-Munqidz Min adl-Dlalâl dan al-Maqshad al-Asnâ Fî Syarh Asmâ’ Allah al-Husnâ. Dalam dua buku ini beliau telah menyerang habis faham-faham kaum sufi gadungan. Termasuk juga dalam karya fenomenalnya, Ihyâ ‘Ulumiddîn.

Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyâd juga menjelaskan bahwa keyakinan ittihâd berasal dari kaum Nasrani. Kaum Nasrani berpendapat bahwa ittihâd hanya terjadi hanya pada nabi Isa, tidak pada nabi-nabi yang lain. Kemudian tentang teori hulûl dan ittihâd ini kaum Nasrani sendiri berbeda pendapat, sebagain dari mereka menyatakan bahwa yang menyatu dengan tubuh nabi Isa adalah sifat-sifat ketuhanan. Pendapat lainnya mengatakan bahwa dzat tuhan menyatu yaitu dengan melebur pada tubuh nabi Isa laksana air yang bercampur dengan susu. Selain ini ada pendapat-pendapat mereka lainnya. Semua pendapat mereka tersebut secara garis besar memiliki pemahaman yang sama, yaitu pengertian kesatuan (hulûl dan ittihâd). Dan semua faham-faham tersebut diyakini secara pasti oleh para ulama Islam sebagai kesesatan. (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, mengutip dari Imam al-Haramain dalam al-Irsyâd).

Imam al-Fakh ar-Razi dalam kitab al-Mahshal Fî Ushûliddîn, menuliskan sebagai berikut:
“Sang Pencipta (Allah) tidak menyatu dengan lain-Nya. Karena bila ada sesuatu bersatu dengan sesuatu yang lain maka berarti sesuatu tersebut menjadi dua, bukan lagi satu. Lalu jika keduanya tidak ada atau menjadi hilang (ma’dûm) maka keduanya berarti tidak bersatu. Demikian pula bila salah satunya tidak ada (ma’dûm) dan satu lainnya ada (maujûd) maka berarti keduanya tidak bersatu, karena yang ma’dûm tidak mungkin bersatu dengan yang maujûd” (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, mengutip dari al-Fakh ar-Razi dalam al-Mahshal Fi Ushul al-Dîn).

Al-Qâdlî ‘Iyadl dalam kitab al-Syifâ menyatakan bahwa seluruh orang Islam telah sepakat dalam meyakini kesesatan akidah hulûl dan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah menyatu dengan tubuh manusia. Keyakinan-keyakinan semacam ini, dalam tinjauan al-Qâdlî ‘Iyadl tidak lain hanya datang dari orang-orang sufi gadungan, kaum Bathiniyyah, Qaramithah, dan kaum Nasrani (Al-Qâdli ‘Iyadl, al-Syifâ…, j. 2, h. 236). Dalam kitab tersebut al-Qâdlî ‘Iyadl menuliskan:
“Seorang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah benda, maka dia tidak mengenal Allah (kafir) seperti orang-orang Yahudi. Demikian pula telah menjadi kafir orang yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya (hulûl), atau bahwa Allah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain seperti keyakinan kaum Nasrani” (Al-Qâdli ‘Iyadl, al-Syifâ…, j. 2, h. 236).

Imam Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni dalam Kifâyah al-Akhyâr mengatakan bahwa kekufuran seorang yang berkeyakinan hulûl dan ittihad lebih buruk dari pada kekufuran orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Kaum Yahudi menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa ‘Uzair sebagai anak-Nya. Kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Isa dan Maryam sebagai tuhan anak dan tuhan Ibu; yang oleh mereka disebut dengan doktrin trinitas. Sementara pengikut akidah hulûl dan ittihad meyakini bahwa Allah menyatu dengan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya dibanding Yahudi dan Nasrani, pemeluk akidah hulûl dan ittihad memiliki lebih banyak tuhan; tidak hanya satu atau dua saja, karena mereka menganggap bahwa setiap komponen dari alam ini merupakan bagian dari Dzat Allah, Na’udzu Billâh. Imam al-Hishni menyatakan bahwa siapapun yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memerangi akidah hulûl dan akidah ittihad maka ia memiliki kewajiban untuk mengingkarinya dan menjauhkan orang-orang Islam dari kesesatan-kesesatan dua akidah tersebut (Lihat al-Hushni, Kifâyah al-Akhyar…, j. 1, h. 198).

Imam Ahmad ar-Rifa’i, perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, di antara wasiat yang disampaikan kepada para muridnya berkata:
“Majelis kita ini suatu saat akan berakhir, maka yang hadir di sini hendaklah menyampaikan kepada yang tidak hadir bahwa barang siapa yang membuat bid’ah di jalan ini, merintis sesuatu yang baru yang menyalahi ajaran agama, berkata-kata dengan ittihad, berdusta dengan keangkuhannya kepada para makhluk Allah, sengaja berkata-kata syathahât, melucu dengan kalimat-kalimat tidak dipahaminya yang dikutip dari kaum sufi, merasa senang dengan kedustaannya, berkhalwat dengan perempuan asing tanpa hajat yang dibenarkan syari’at, tertuju pandangannya kepada kehormatan kaum muslimin dan harta-harta mereka, membuat permusuhan antara para wali Allah, membenci orang muslim tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, menolong orang yang zhalim, menghinakan orang yang dizhalimi, mendustakan orang yang jujur, membenarkan orang yang dusta, berprilaku dan berkata-kata seperti orang-orang yang bodoh, maka saya terbebas dari orang semacam ini di dunia dan di akhirat (lihat Sawâd al-‘Ainain Fî Manâqib Abî al-‘Alamain karya al-Imam as-Suyuthi).

Al-Qâdlî Abu al-Hasan al-Mawardi mengatakan bahwa seorang yang berpendapat hulûl dan ittihâd bukan seorang muslim yang beriman dengan syari’at Allah. Seorang yang berkeyakinan hulûl ini tidak akan memberikan manfa’at pada dirinya sekalipun ia berkoar membicakaran akidah tanzih. Karena seorang yang mengaku Ahl at-Tanzîh namun ia meyakini akidah hulûl atau ittihâd adalah seorang mulhid (kafir). Dalam tinjauan al-Mâwardi, bukan suatu yang logis bila seseorang mengaku ahli tauhid sementara itu ia berkeyakinan bahwa Allah menyatu pada raga manusia. Sama halnya pengertian bersatu di sini antara sifat-sifat tuhan dengan sifat-sifat manusia, atau dalam pengartian melebur antara dua dzat; Dzat Allah dengan dzat makhluk-Nya. Karena bila demikian maka berarti tuhan memiliki bagian-bagian, permulaan dan penghabisan, serta memiliki sifat-sifat makhluk lainnya (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 132).

Al-Hâfizh as-Suyuthi dalam kutipannya dari kitab Mi’yâr al-Murîdîn, berkata:
“Ketahuilah bahwa asal kemunculan kelompok sesat dari orang-orang yang berkeyakinan ittihâd dan hulûl adalah akibat dari kedangkalan pemahaman mereka terhadap pokok-pokok keyakinan (al-Ushûl) dan cabang-cabangnya (al-furû’). Dalam pada ini telah banyak atsar yang membicarakan untuk menghindari seorang ahli ibadah (‘Âbid) yang bodoh. Seorang yang tidak berilmu tidak akan mendapatkan apapun dari apa yang ia perbuatnya, dan orang semacam ini tidak akan berguna untuk melakukan sulûk” (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 133).

Seorang sufi kenamaan, Imam Sahl ibn ‘Abdullah at-Tustari, berkata:
“Dalil atas kesesatan faham kasatuan (ittihâd) antara manusia dengan Tuhan adalah karena bersatunya dua dzat itu sesuatu yang mustahil. Dua dzat manusia saja, misalkan, tidak mungkin dapat disatukan karena adanya perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Terlebih lagi antara manusia dengan Tuhan, sangat mustahil. Karena itu keyakinan ittihâd adalah sesuatu yang batil dan mustahil, ia tertolak secara syara’ juga secara logika. Oleh karenanya kesesatan akidah ini telah disepakati oleh para nabi, para wali, kaum sufi, para ulama dan seluruh orang Islam. Keyakinan ittihâd ini sama sekali bukan keyakinan kaum sufi. Keyakinan ia datang dari mereka yang tidak memahami urusan agama dengan benar, yaitu mereka yang menyerupakan dirinya dengan kaum Nasrani yang meyakini bahwa al-nasut (nabi Isa) menyatu dengan al-lahut (Tuhan)” (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 134).

Dalam tinjauan Imam al-Ghazali, dasar keyakinan hulûl dan ittihâd adalah sesuatu yang tidak logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya, dengan cara apapun adalah sesuatu yang mustahil, baik kesatuan antara dzat dengan dzat, maupun kesatuan antara dzat dengan sifat. Dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah, al-Ghazali menyatakan memang ada beberapa nama pada hak Allah yang secara lafazh juga dipergunakan pada makhluk. Namun hal ini hanya keserupaan dalam lafazhnya saja, adapun secara makna jelas berbeda. Sifat al-Hayât (hidup), misalkan, walaupun dinisbatkan kepada Allah dan juga kepada manusia, namun makna masing-masing sifat tersebut berbeda. Sifat hayat pada hak Allah bukan dengan ruh, tubuh, darah, daging, makanan, minuman dan lainnya. Sifat hayat Allah tidak seperti sifat hayat pada manusia.

Imam al-Ghazali menuliskan bahwa manusia diperintah untuk berusaha meningkatkan sifat-sifat yang ada pada dirinya supaya mencapai kesempurnaan. Namun demikian bukan berarti bila ia telah sempurna maka akan memiliki sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah. Hal ini sangat mustahil dengan melihat kepada beberapa alasan berikut;
Pertama; Mustahil sifat-sifat Allah yang Qadîm (tidak bermula) berpindah kepada dzat manusia yang hâdits (Baru), sebagaimana halnya mustahil seorang hamba menjadi Tuhan karena perbedaan sifat-sifat dia dengan Tuhan-nya.

Kedua; Sebagaimana halnya bahwa sifat-sifat Allah mustahil berpindah kepada hamba-Nya, demikian pula mustahil dzat Allah menyatu dengan dzat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian maka pengertian bahwa seorang manusia telah sampai pada sifat-sifat sempurna adalah dalam pengertian kesempurnaan sifat-sifat manusia itu sendiri. Bukan dalam pengertian bahwa manusia tersebut memiliki sifat-sifat Allah atau bahwa dzat Allah menyatu dengan manusia tersebut (hulûl dan ittihâd) .

Al-’Ârif Billâh al-‘Allâmah Abu al-Huda ash-Shayyadi dalam kitab al-Kaukab al-Durri berkata:
“Barang siapa berkata: “Saya adalah Allah”, atau berkata: “Tidak ada yang wujud di alam ini kecuali Allah”, atau berkata: “Tidak ada yang ada kecuali Allah”, atau berkata: “Segala sesuatu ini adalah Allah”, atau semacam ungkapan-ungkapan tersebut, jika orang ini berakal, dan dalam keadaan sadar (shâhî), serta dalam keadaan mukallaf maka ia telah menjadi kafir. Tentang kekufuran orang semacam ini tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang Islam. Keyakinan tersebut telah jelas-jelas menyalahi al-Qur’an. Karena dengan meyakini bahwa segala sesuatu adalah Allah berarti ia telah menafikan perbedaan antara Pencipta (Khâliq) dan makhluk, menafikan perbedaan antara rasul dan umatnya yang menjadi obyek dakwah, serta menafikan perbedaan surga dan neraka. Keyakinan semacam ini jelas lebih buruk dari mereka yang berkeyakinan hulûl dan ittihâd. Dasar mereka yang berakidah hulûl atau ittihâd meyakini bahwa Allah meyatu dengan nabi Isa. Sementara yang berkeyakinan segala sesuatu adalah Allah, berarti ia menuhankan segala sesuatu dari makhluk Allah ini, termasuk makhluk-makhluk yang najis dan yang menjijikan. Sebagian mereka yang berkeyakinan buruk ini bahkan berkata:

(قيل) وَمَا اْلكَلْبُ وَالْخِنْزِيْرُ إلاّ إلَهُنَا # وَمَا اللهُ إلاّ رَاهِبٌ فِي كَنِيْسَةٍ

“Tidaklah anjing dan babi kecuali sebagai tuhan kita, sementara Allah tidak lain adalah rahib yang ada di gereja”.

Ini jelas merupakan kekufuran yang sangat mengerikan dan membuat merinding tubuh mereka yang takut kepada Allah. Adapun jika seorang yang berkata-kata semacam demikian itu dalam keadaan hilang akal dan hilang perasaannya (jadzab) sehingga ia berada di luar kesadarannya maka ia tidak menjadi kafir. Karena bila demikian maka berarti ia telah keluar dari ikatan taklif, dan dengan begitu ia tidak dikenakan hukuman. Namun demikian orang semacam itu mutlak tidak boleh diikuti. Tidak diragukan bahwa kata-kata semacam di atas menyebabkan murka Allah dan rasul-Nya. Ketahuilah bahwa kaum Yang Haq adalah mereka yang tidak melenceng sedikitpun, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, dari ketentuan syari’at. Cukuplah bagi seseorang untuk memegang teguh syari’at, dan cukuplah Rasulullah sebagai pembawa syari’at adalah sebaik-baiknya Imam dan teladan yang harus diikuti” (Lihat al-Shayyadi, al-Kaukab al-Durry Fi Syarh Bait al-Quthb al-Kabir, h. 11-12).

Dalam al-Luma’, as-Sarraj membuat satu sub judul dengan nama “Bâb Fî Dzikr Ghalath al-Hululiyyah” (Bab dalam menjelaskan kesesatan kaum Hululiyyah). Beliau menjelaskan bahwa orang-orang yang berakidah hulûl adalah orang yang tidak memahami bahwa sebenarnya sesuatu dapat dikatakan bersatu dengan sesuatu yang lain maka mestilah keduanya sama-sama satu jenis. Padahal Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya. Kesesatan kaum hulûl ini sangat jelas, mereka tidak membedakan antara sifat-sifat al-Haq (Allah) dengan sifat al-Khalq (makhluk). Bagaimana mungkin Dzat Allah menyatu dengan hati atau raga manusia?! Yang menyatu dengan hati dan menetap di dalamnya adalah keimanan kepada-Nya, menyakini kebenaran-Nya, mentauhidkan-Nya dan ma’rifah kepada-Nya. Sesungguhnya hati itu adalah makhluk, maka bagaimana mungkin Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya akan bersatu dengan hati manusia yang notabene makhluk-Nya sendiri?! Allah maha Suci dari pada itu semua (as-Sarraj, al-Luma’…, h. 541-542).

Dari pernyataan para ulama sufi di atas tentang akidah hulûl dan ittihad dapat kita tarik kesimpulan bahwa kedua akidah ini sama sekali bukan merupakan dasar akidah kaum sufi.

Sama sesatnya dengan orang-orang berkayakinan hulul atau ittihad adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat di langit atau bertempat di atas arsy, karena bila demikian maka berarti Dia berada pada makhluk-Nya sendiri, Au'dzu Billah.

Hindari dan waspadai keyakinan Wahhabi yang mengatakan Allah bertempat di langit, pada saat yang sama mereka juga mengatakan di arsy, di dua tempat heh!!! Yang mengherankan: Mereka yakin bahwa arsy dan langit makhluk Allah, tapi mereka mengatakan bahwa Allah bertempat pada keduanya, di mana akal mereka!!!!!! Hasbunallah.......

Ingat,,,,,,,
Akidah Rasulullah, salafus shaleh, dan mayoritas ummat Islam; kaum Ahlussunnah Wal Jama'ah: ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar