Jumat, 15 Agustus 2014
MISTISME MAKRIFAT MENURUT IBNU MALIK
1. Manusia Makhluk Makrokosmos.
“ نكرة قابل ال مؤثرا أو واقع موقع ما قد ذكرا ”
Artinya: semua makhluk hidup sejatinya bersifat umum (nakiroh), yang dapat menerima sebuah keistimewaan (al ta’rif) yang sangat berpengaruh dari sang pencipta jagad, selain itu, makhluk juga merupakan sesuatu yang bertempat dalam jagadnya (bumi) Dzat yang maha pencipta sebagaimana telah disebutkan.
Dalam syair di atas, sang pujangga Andalus menjelaskan bahwasanya kita (manusia) merupakan makhluk yang tiada beda antara satu dengan yang lainnya, kita tak ada bedanya dengan hewan, kita tak ada bedanya dengan Jin, bahkan kita tak ada bedanya dengan Malaikat. Namun sebagai manusia kita harus bersyukur, karena kita memiliki sebuah keistimewaan (al ta’rif) yang bisa kita banggakan dibanding Malaikat, Jin, maupun hewan. Kita (manusia) dianugerahi akal-pikiran, sehingga -selain dapat membedakan dirinya dengan makhluk lainya- kita dapat mencari cahaya kebenaran yang sejati. Karena –perlu diingat- jika manusia mampu menemukan cahaya kebenaran tersebut, maka sejatinya ia lebih mulia dari Malaikat, sebab dengan menemukan cahaya kebenaran, hal itu merupakan sebuah pertanda bahwa manusia mampu melawan hawa nafsunya, sedangkan Malaikat tercipta dengan tanpa hawa nafsu, maka tak heran jika mereka selalu taat beribadah. Namun jika ia (manusia) terjerumus dalam jurang nafsu, maka ia tak jauh bedanya dengan hewan, bahkan ia lebih hina dari hewan, sebab ia sudah diberikan akal-pikiran, tapi tidak ia pergunakan, sedangkan hewan tidak diberikan akal-pikiran, maka tak heran jika hewan tak bisa membedakan mana yang baik dan buruk.
Selain itu, manusia merupakan makhluk makrokosmos, kenapa? Ada beberapa alasan mengapa manusia penulis sebut sebagai makhluk makrokosmos dan bukan mikrokosmos.
Pertama, manusia adalah kunci memahami jagad alam semesta ini. Manusia adalah penakar dan pemberi nilai-nilai terhadap segala yang ada. Manusia adalah makhluk yang sudah ditakdirkan Tuhan menjadi rahmatan lil alamin. Rahmat dan pengayom bagi seluruh alam. Manusia lah yang mampu untuk mengukur besar kecilnya kosmos alam semesta. Manusia bisa memberi arti sekecil-kecilnya terhadap alam semesta hingga ada di genggaman tangannya, namun juga manusia bisa memberi arti sebesar-besarnnya terhadap alam semesta.
Kedua, ukuran besarnya alam secara fisik memang lebih besar dari manusia. Namun secara metafisis, harusnya alam semesta lebih kecil daripada kosmos-nya manusia. Pemahaman idealistik ini lebih memberi manfaat praktis untuk memperbaiki dunia yang sudah sedemikian rusak.
Ketiga, manusia bukan bagian kecil dari dunia yang bisa kita lihat dengan mata dan bisa kita dengar dengan telinga ini. Justru dunialah yang merupakan bagian kecil dari manusia. Sebab manusia bisa mengulur dan mengkerutkan ukuran dunia fisik ini hanya bahkan sebesar pasir. Contoh kecil yang bisa penulis ambil, coba kalian pejamkan mata segelap-gelapnya untuk beberapa lama atau dalam istilah Jawa sering disebut meditasi, maka kalian akan menemukan dan merasakan dunia yang lebih besar dari dunia fisik ini.
Manusia memang bertempat, karena ia hanyalah sebuah materi yang tersusun dari banyak partikel, ia hanyalah sebuah benda yang dapat berfikir, namun dengan berfikir itulah, manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dengan berfikir itulah manusia merupakan makhluk makrokosmos dan bukan mikrokosmos. Mengingat akan hal itu, tidak sewajarnya jika kita terjebak dalam dunia yang sempit ini, tidak patut makhluk seperti manusia terjerumus dalam fatamorgana dunia, karena manusia merupakan kholifah dalam dunia ini, maka sepatutnya ia menjadi penerang, bahkan pemegang kuasa atas dunia, bukan malah terjebak dalam fatamorgana sesaat.
Mulai sekarang, mungkin kita harus memulai hidup dengan mengunakan akal kita, kita harus mulai bertafakkur atas segala kejadian yang ada di jagad raya ini, karena dengan bertafakkur, kita akan belajar apa arti kehidupan, kita juga akan menyadari kewajiban orang hidup tidak lain adalah selalu berusaha menjadikan daya potensial yang ada di dalam dirinya menjadi suatu bentuk aksi (perbuatan) yg bermanfaat, maka dengan demikian kita aka berhasil menguak ajaran sangkan paraning dumadi (asal kejadian kita).
2. Tangga-tangga Makrifat.
“ وغيره معرفة كهم وذى وهند وابنى والغلام والذى ”
Artinya: dan selain nakiroh (orang-orang pada umumnya) adalah orang makrifat billahi Ta’ala, mereka adalah orang-orang yang mempunyai sifat-sifat seperti lafadz hum (isim dhomir), lafadz dzi (isim isyaroh), lafadz hinda (alam asma/alam jenis), lafadz ibny (isim yang dimudhofkan), lafadz al-ghulaami (al-ta’rif), dan lafadz alladzi (isim mausul).
Keterangan syair:
Syair sang pujangga Andalus di atas, mengajarkan pada kita untuk mencapai derajat makrifat, karena derajat makrifat –menurut sebagian besar ulama’ sufi- merupakan derajat yang paling tinggi di sisi Tuhan, makrifat merupakan tujuan akhir dari suatu pendekatan diri kepada sang Pencipta, karena makrifat hanya bisa dicapai setelah manusia melewati tangga-tangga “istana Tuhan” yang meliputi Syariat, Thoriqot, Hakekat, baru kemudian Makrifat billahi Ta’ala.
Berbicara soal Makrifat, penulis ingat sebuah wejangan yang tertulis dalam seratan sang Guru bathin Ibnu Athoilah; al-Hikam yang artinya “sesuatu yang sangat diinginkan oleh sang Arif (orang yang makrifat) dari Allah swt adalah kejujuran dalam beribadah kepada-Nya serta mendirikan hak-hak-Nya”, dalam artian seseorang yang makrifat billah tiada lain tujuan dalam ibadahnya melainkan hanya untuk menembus kejujuran hatinya dalam beribadah, ia beribadah hanya semata-mata mengharapkan ridho Illahi Robby, ia melaksanakan segala sesuatu yang menjadi hak Allah karena semata-mata hanya mengharap ridho-Nya, bukan karena sebuah tuntutan ataupun mengharap imbalan dari-Nya.
Oleh sebab itulah (sebab tingginya derajat Makrifat), -dalam pandangan penulis- Ibnu Malik al-Andalus pun mencoba menjelaskan “tangga-tangga istana Tuhan” melalui rangkaian kata-kata dalam sebuah syair karangan beliau “alfiyah ibnu malik”. Adapun tangga-tangga yang harus dilalui oleh seorang salik (pencari Makrifat) sebagaimana dalam syair di atas adalah:
1. Pertama-tama seorang salik harus mempunyai sifat seperti lafadz hum (isim dhomir), yakni si salik harus bisa menata hatinya (dhomir) terlebih dahulu, karena sebagaimana sabda kanjeng Nabi saw yang artinya “dalam sebuah jasad ada segumpal daging (mudghoh), apabila baik benda itu, maka akan baiklah seluruh jasad (tingkah laku manusia), dan apabila rusak benda itu, maka akan rusaklah seluruh jasad (tingkah laku manusia), benda itu tak lain adalah hati”. Dari sabda kanjeng Nabi saw tersebut, dapat dipahami bahwasanya semua pekerjaan manusia adalah bersumber dari hati, baik buruknya tingkah polah manusia juga bersumber dari hati. Nah dari situ, sebelum melaksanakan titah Tuhan yang terkemas dalam Syariat-syariat-Nya, sudah seharusnya kita menata hati terlebih dahulu, karena walaupun sesering apapun kita melaksanakan Syariat Tuhan –baik itu sholat, puasa, zakat, haji, dll-, jika hati kita tidak tertata menuju kepada satu titik; Tuhan pencipta jagad, maka apa yang kita kerjakan pun akan sia-sia. Dikeluarkan oleh Imam Bukhori, bahwasanya Kanjeng Nabi bersabda “innama al-a’malu bi al-niyat wa innama lukulli imriin maa nawaa”, yakni segala sesuatu itu tergantung dari niatnya, dan perlu diketahui bahwasanya niat itu adanya hanya dalam hati, maka jika hati belum ditata dengan benar, maka niat pun akan salah, dan jika niat sudah salah, maka suatu pekerjaan pun akan bertujuan salah.
Selain penafsiran di atas (seseorang harus menata hatinya), dapat juga diartikan bahwasanya seseorang harus mampu menghadirkan Tuhan dalam hatinya dalam keadaan apapun, kapanpun, dan dimanapun ia berada. Karena hanya dengan menghadirkan-Nya dalam hati, kita baru bisa yakin bahkan merasakan kedekatan-Nya dengan kita.
Hal ini sebagaimana wejangan mbah Ibnu Athoilah dalam al-Hikamnya “pekerjaan/ ibadah seseorang tidak akan membuahkan sebuah pengharapan kepada Allah (ibadahnya hanya sebuah formalitas) tanpa adanya kesaksian dalam hati dan sebuah rasa butuh atas keberadaan-Nya dalam hati”, jadi kalau kita belum bisa menata hati kita, maka kita akan sulit untuk mencapai derajat Makrifat kepada Allah Ta’ala, karena sebagaimana wejangan Ibnu Araby “man a’rafa nafsahu ‘arafa Rabbahu”.
2. Setelah salik (pencari makrifat) mampu menata hatinya, ia kemudian harus seperti lafadz dzi (isim isyaroh), yakni ia harus membuktikan keyakinan dalam hatinya tersebut dengan isyaroh. Isyaroh terhadap Allah swt cukup dengan kita melaksanakan segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Jika dalam al-Quran Allah mewajibkan kita untuk melaksanakan sholat, puasa, zakat, haji, dll, maka tak cukup bagi kita hanya dengan meyakini keberadaan-Nya dan mengingat-Nya saja, namun kita juga harus melaksanakan perintah-Nya tersebut dengan sebuah isyaroh/perbuatan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh baginda kita, kanjeng Nabi Muhammad saw.
Ada sebuah contoh yang bisa dijadikan sebuah pelajaran, katakanlah si A terkenal orang yang sakti dan keramat di kampungnya, konon menurut warga kampung ia adalah seorang yang makrifat, nah benar tidaknya berita ke-makrifatan si A dapat kita lihat dari kegiatan dia setiap harinya, yakni apakah ia dalam kesehariannya melaksanakan titah Allah (sholat, puasa, dll), kalau memang dia tidak melaksanakan semua kewajiban tersebut, walaupun dengan dalih apapun, ke-makrifatannya hanyalah tipuan setan semata, karena sebagaimana kita tau, para Wali Songo yang ke-keramatannya mampu mengguncang tanah jawa saja masih melaksanakan syariat Allah, bahkan kanjeng Nabi saw sendiri yang sudah tidak diragukan lagi ke-makrifatannya (lewat peristiwa isra’ mi’roj, dll), beliau setiap harinya juga melaksanakan syariat sebagaimana hamba Allah pada umumnya.
Nah apa yang dikerjakan oleh Wali Songo dan Kanjeng Nabi itu tak lain karena pentingnya isyaroh dengan cara melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah, karena ibaratnya kita ingin pergi ke suatu tempat, kita tahu dimana tempatnya, namun jika kita hanya sekedar tahu tapi tidak berusaha untuk bisa ke sana, maka kita tidak mungkin bisa sampai ke tempat itu.
Jadi, orang tidak akan bisa mencapai derajat makrifat sebelum membuktikan kecintaannya pada Allah dengan sebuah isyaroh dan perbuatan yang konkrit, karena Allah hanya akan di kenal oleh orang-orang yang mampu mengenal dirinya sendiri, dan pengenalan diri sendiri hanya bisa diperoleh dengan melihat apa yang sudah dia kerjakan selama ini, sebagaimana wejangan Ibnu Athoilah “jika kamu ingin mengetahui derajatmu di sisi Allah, maka lihatlah apa yang sudah kamu kerjakan selama ini”.
3. Setelah salik membuktikan keyakinannya yang terpatri dalam hati dengan isyaroh atau perbuatan (beribadah), maka tangga selanjutnya yang harus ditempuh oleh salik adalah harus seperti lafadz hinda (alam asma/jenis), yakni dalam proses menuju tangga berikutnya (alam asma/jenis), si salik harus mencari seorang guru khos (mursyid) untuk membimbingnya dalam penyerahan diri kepada Allah, karena sifat alami manusia yang mudah lupa dan melakukan kesalahan sehingga mengharuskan manusia harus mempunyai pendamping (mursyid). Alasan penting lain untuk mendapatkan pendampingan (mursyid) yang tepat ialah bahwa kita selalu merupakan produk dari saat yang terakhir, dan karena saat itu dilahirkan dari saat sebelumnya, dan begitu seterusnya, ada suatu kesinambungan. Seseorang yang berdiri sendiri tak dapat menyadari seberapa jauh ia telah menyimpang dari jalan pengetahuan-diri atau penyadaran-diri. Dengan demikian, seorang pencari memerlukan teman untuk menggambarkan kepadanya, seperti cermin, tentang keadaan atau kedudukannya.
Sebagaimana dalam kasus ilmu fisika atau ilmu alam, di mana tak diragukan lagi kita akan cenderung mengikuti seseorang yang mempunyai pengalaman dan kualifikasi yang lebih banyak dalam ilmu-ilmu tersebut, maka prinsip ini pun berlaku pada ilmu tentang Tuhan (Makrifat). Pada tingkat fisik, kita secara konstan berusaha ke arah keselarasan dan tindakan yang benar, dan kita mengikuti orang yang ahli dalam bidang ini. Demikian pula bagi keselarasan batin, orang yang paling memenuhi syarat adalah syekh spriritual sufi yang sejati. Namun, ada suatu perbedaan antara ilmu lahir dan ilmu batin. Dalam ilmu lahir, segala cacat dan kekurangsempurnaan dapat dideteksi dengan mudah. Tidak demikian halnya dengan ilmu batin, misalnya, dimana seseorang dapat tersenyum padahal sebenarnya ia sangat resah. Pengetahuan tentang ilmu batin memerlukan spesialisasi yang lebih dalam. Yang diperlukan adalah obat “hati”, yang tidak mudah diperoleh atau diberikan, sedang penyembuhan fisik dapat ditentukan, dianalisis dan logis, sehingga lebih mudah dicapai.
Hakekat batin berhubungan dengan esensi dan sumber. Apabila hakikat batin mendatangi sumber, maka terjadilah kesatuan. Apabila orang bergerak menjauhi sumber cahaya, maka ia akan membeda-bedakan dan melihat berbagai bayangan yang berbeda serta profil yang berbeda-beda. Makin dekat orang mendatangi sumber cahaya, makin sedikit ia melihat perbedaan, sampai ia silau dan tenggelam serta terliputi oleh cahaya itu sendiri. Dalam artian, apabila seseorang telah mengambil seorang guru sufi sejati secara benar maka pada hakikatnya ia telah mengambil semua guru sufi. Dan sangatlah keliru jika kita mengira bahwa orang dapat membuang satu guru sufi lalu pergi kepada guru lainnya, kecuali apabila yang pertama tidak becus. Kemudian ketika si salik berkembang dan bergerak maju, ia akan selalu dapat melihat dirinya diawasi oleh sang guru rohani serta para guru-guru beliau karena rasa hormat sang guru rohani sendiri kepada guru-gurunya. Pencari yang cerdas akan selalu hidup dan berperilaku seakan-akan semua syekh sufi yang telah ditemui sedang mengawasinya, sedang benar-benar ada bersama dia dan menjadi pembimbing, pemberi peringatan, dan sahabatnya.
Atas dasar itulah, maka selain dua tangga di atas, si salik juga harus mempunyai guru rohani khos agar selalu mengawasi serta membimbing segala tingkah laku salik dalam proses penyerahan diri kepada Allah Ta’ala.
4. Perjuangan salik tidak langsung berhenti sebab sudah menaiki tiga tangga di atas, namun setelah itu masih banyak lagi tangga-tangga menuju istana Tuhan, tidak mudah memang untuk mendapatkan maqom makrifat, karena semakin tinggi tangga yang kita naiki, maka tingkat kesulitan pun semakin berat, ibaratnya semakin tinggi kita mendaki gunung, semakin berat resikonya kalau kita terjatuh. Tangga ke empat yang harus dilalui salik adalah seperti lafadz ibny (isim yang dimudhofkan), yakni seorang salik harus bisa memudhofkan dan menyandarkan dirinya dengan sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Dalam setiap waktu dan setiap perbuatan, salik harus mampu menyandarkannya kepada Dzat yang maha kuasa, saat dia makan, ia harus sadar bahwa itu bisa dilakukan karena nikmat-Nya, saat ia sakit, ia harus sadar bahwa sakitnya itu merupakan bukti kasih sayang-Nya, pokoknya dalam keadaan apapun ia harus sadar bahwa semuanya berasal dari Dzat kang ngeratuni jagad.
Dalam hal ini, penulis ingat wejangan mbah guru Ibnu Athoilah “barang siapa yang menjadikan selain Allah (pahala, surga, dll) sebagai sebab dalam beribadah, maka sejatinya itu merupakan syahwat ringan, namun jika seseorang menjadikan Allah sebagai satu-satunya sebab atas ibadahnya, maka itulah sebuah kemulyaan yang tinggi di sisi-Nya”. Dari wejangan mbah guru batin tersebut, kita dapat mengambil pelajaran bahwasanya segala sesuatu itu haruslah didasari atas keikhlasan, khususnya keikhlasan kepada Allah swt, karena hanya keikhlasan yang mampu membuat apa yang kita lakukan memiliki arti tersendiri, karena keikhlasan merupakan ruh dari segala amal perbuatan, tanpa adanya keikhlasan, apa yang telah kita lakukan -terlebih untuk-Nya- akan menjadi sia-sia belaka sebagaimana debu di atas batu licin yang tersiram oleh air hujan. Dalam al-Hikam, mbah Ibnu Athoilah berkata “al-a’maalu: shuwarun qooimatun, wa arwaakhuha: wujuudu sirri al-ikhlaasi fiihaa”.
Oleh sebab itulah, untuk mencapai maqom makrifat, seorang salik harus menanamkan rasa ikhlas dalam dirinya, ikhlas yang dimaksud adalah dengan menyandarkan segala sesuatu yang ia kerjakan hanya kepada Allah swt saja, dengan tanpa adanya embel-embel (qoyyid) dalam setiap ibadahnya.
5. Tangga selanjutnya yang harus ditempuh oleh si salik dalam mencapai maqom makrifat adalah si salik harus mempunyai keistimewaan tersendiri dibanding dengan orang-orang awam pada umumnya, salik harus bisa seperti lafadz al-ghulaami (al ta’rif), yakni al yang mampu memakrifatkan isim nakiroh.
Keistimewaan yang harus dimiliki oleh salik tercermin dalam usaha-usaha pendekatan diri kepada Allah swt, hal itu bisa jadi dari segi keilmuan, dengan kata lain keilmuan salik harus lebih istimewa dari orang umum, atau dari segi ritual ibadah, dengan kata lain salik harus mempunyai nilai lebih dalam beribadah, mungkin dengan sering melakukan sholat sunnah, atau bahkan puasa sunnah dll, atau mungkin juga dari segi akhlaq, yakni salik harus mempunyai nilai akhlaq karimah, baik itu terpatri dalam diri salik ataupun tercermin dalam tindakan-tindakan social, dan masih banyak lagi keistimewaan yang bisa diusahakan oleh salik dalam proses menuju makrifat.
Sebenarnya yang harus dilakukan salik agar medapat keistimewaan atau lebih menonjol dibanding orang pada umumnya, ia harus berusaha keras memperbaiki sifat-sifatnya, karena sifatnya lah yang mencerminkan tingkah ibadah, social, pribadi dan semua yang berhubungan dengan kehidupannya. Sifat dasar manusia itu meliputi sifat imaniyah, sifat akhlaqiyah, dan sifat da’awiyah.
Sifat Imaniyah mencakup beberapa sifat seperti, taqwa dengan kata lain salik harus berusaha menanamkan rasa taqwa kepada Allah dalam dirinya, rasa taqwanya harus lebih dalam daripada orang-orang pada umumnya, usaha-usaha dalam taqorrub ila Allah juga harus disertai dengan rasa ikhlas, ikhlas dalam artian segala amal ibadahnya semata-mata hanya tertuju pada Allah swt dengan tanpa mengharap apa-apa dari-Nya, sehingga dalam kesehariannya pun salik bisa mengoreksi dirinya sendiri tentang apa yang sudah ia lakukan setiap harinya, apakah semua yang ia lakukan sudah semata-mata karena Allah ataukah karena yang lain. Selain taqwa salik juga harus ridho dengan qodho dan qodar Allah, dengan kata lain, ia harus menerima apapun yang Allah takdirkan untuknya, walaupun usaha yang dilakukan tidak sepadan dengan hasil yang ia dapatkan, ia harus mampu menerimanya, walaupun diberi cobaan dengan kemiskinan yang amat sangat lama, ia juga mampu menerimanya dengan ikhlas dan sabar, pokoknya ia harus mampu menerimana apapun pemberian Allah swt dengan lapang dada. Selanjutnya salik juga harus mampu menanamkan rasa jujur dalam setiap ucapan dan perbuatan, dan yang paling utama adalah rasa jujur dalam hati, karena manusia tidak akan pernah bisa dikalahkan oleh hawa nafsu jika ia selalu menanamkan rasa jujur dalam hatinya, dalam surat al-taubah ayat 119 Allah berfirman, yang artinya “wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian semua kepada Allah, dan bersamalah kalian semua dengan orang-orang yang benar”.
Sifat manusia yang kedua adalah Sifat Akhlaqiyah yang meliputi kesabaran, ketabahan dan lapang dada, dengan kata lain salik harus mampu menghadapi cobaan yang Allah berikan kepadanya dengan sabar, tabah dan lapang dada, Nabi saw dalam sebuah riwayatnya bersabda, yang arinya kurang lebih sebagai berikut “barang siapa yang mampu menahan hal-hal yang menyebabkan amarah, maka Allah akan selalu menjaganya dan menjaga keimanannya”. Selain itu, salik juga harus mempunyai sifat amanah, dengan kata lain ia harus mampu bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan setiap harinya, baik itu tanggung jawab pada diri sendiri, orang lain, bahkan pada Allah swt, ia harus mempertanggung jawabkan ibadahnya seperti sholat ,zakat, puasa dan lain sebagainya, apakah semua ibadahnya sudah semata-mata karena Allah Ta’ala. Karena menurut sabda Nabi dalam salah satu riwayatnya, kita semua adalah pemimpin dan harus mempertanggung jawabkan apa yang ia pimpin. Pemimpin dalam hadits tersebut dapat kita artikan pemimpin umat di bumi, atau lebih spesifiknya pemimpin hatinya masing-masing, jadi ia harus mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukan hatinya setiap hatinya, apakah itu ikhlas karena Allah, ataukah merasakan sifat yang tidak terpuji seperti riya’ dan lain sebagainya.
Sifat kodrati manusia yang terakhir adalah Sifat Da’awiyah, dengan kata lain, salik harus mampu mengajak hatinya bahkan semua amal perbuatannya kepada satu titik, Allah Ta’ala. Kapanpun, bagaimanapun kondisinya, ia harus mampu mengajak pribadinya untuk taqorrub ila Allah. Nah jika ketiga sifat kodrati manusia-sebagaimana termaktub di atas- dapat dimiliki oleh seorang salik, maka ia pun akan memiliki suatu keistimewaan, baik keistimewaan di depan masyarakat, bahkan keistimewaan di hadapan Tuhan pencipta alam, Allah Ta’ala, dan dengan demikian maka lambat laum ia pun akan mencapai maqom tertinggi yakni maqom makrifat biilahi Ta’ala.
6. Pada tangga yang terakhir ini, seorang salik harus mampu seperti lafadz alladzi (isim mausul), dengan kata lain salik harus mampu menghadirkan Tuhan dalam setiap amal ibadahnya, pikiran dan jiwanya harus bisa terpusat pada satu titik, Allah pencipta jagad, saat ia melaksanakan segala sesuatu dalam kehidupannya, ia harus mampu wusul dengan Allah swt, merasakan kehadiran Allah dalam setiap pekerjaannya, bahkan kalau bisa ia harus mampu manunggaling kawulo Gusti, yakni dengan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya. Laa maujuuda illallah, tidak ada yang wajib wujud dengan sebenar-benarnya kecuali Allah.
Demikianlah enam tangga (yang disuguhkan Syekh Ibnu Malik al-Andalusy dalam sebuah kitabnya yang berjudul alfiyah ibnu malik) untuk menuju maqom makrifat billah, maqom tertinggi di sisi Allah. Bila manusia sudah menaiki tangga-tangga sebagaimana termaktub di atas, maka manusia pun akan sampai pada maqom ini, dan jika sudah demikian, ia akan merasakan bahwa sudah tidak ada lagi sesuatu di dunia ini melainkan Allah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar