Sabtu, 09 Maret 2019

Tafsir Sufi Al-Kafirun

Direktur Sufi Center KH M. Luqman Hakim menjelaskan tafsir Surat Al-Kafirun dalam perspektif sufi. Hal ini untuk memberikan pemahaman bahwa perilaku kafir juga harus menjadi cerminan diri setiap Muslim, bukan justru untuk menuding orang lain.

Kiai Luqman tidak memungkiri bahwa banyak kata Kafirun, Musyrikun di dalam Al-Qur'an. Tetapi hal itu untuk tataran teologis, bukan pada tataran Kewarganegaraan. Bahkan konsep Tata Negara dalam Al-Qur'an tidak ada.

“Apalagi menyebut Negara Islam. Justru inilah universalitasnya Islam yang memberi ruang peradaban secara kreatif dinamis,” ujar Kiai Luqman dikutip NU Online, Selasa (5/3) lewat twitternya.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kelompok yang masuk kategori kafir dalam tataran teologis, cukup sebut mereka sebagai warga negara non-Muslim. Hal ini menurut Kiai Luqman sama sekali tidak mengubah sebutan kafir di dalam Al-Qur’an menjadi non-Muslim.

“Tidak boleh diganti (sebutan kafir dalam Al-Qur’an),” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat itu.

Karena definisi kafir itu apa? Kalau Allah menyebut, “Katakan, hai orang-orang kafir...”  Ayat itu, menurut Kiai Luqman, juga bermakna kekafiran hati manusia yang selama ini menyembah hawa nafsu, dunia, dan makhluk.

Sebab itu, Kiai Luqman mengungkapkan tafsir sufi dari Surat Al-Kafirun untuk menjadi cerminan bagi setiap Muslim, sebagai berikut:

Tafsir Sufi Al-Kafirun 1

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ
.
Katakan, wahai orang-orang yang hatinya kufur karena terhijab dari Allah, hingga matahatinya buta, lalu hanya memihak hawa nafsu, setan, dunia, dan segala hal selain Allah.

Tafsir Sufi Al-Kafirun 2

لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ
.
Aku tidak menyembahmu, karena yang kamu sembah bukanlah Tuhan. Tetapi ilusi tentang Tuhan, atas nama Tuhan, sehingga jadi berhala-berhala kegelapan. Aku adalah Qalbu yang kemilau Cahaya-Nya, tak mau memihak gairah nafsumu pada kegelapan.

Tafsir Sufi Al-Kafirun 3

وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ
.
Kamu pun tak akan pernah menuhankan apa yang aku sembah, karena jika dirimu memasuki Cahaya-Nya, akan terbakar dalam siksa hijab di neraka kegelapanmu. Akulah dilimpahi Cahaya hingga bersambung dengan-Nya. Kamu tidak.

Tafsir Sufi Al-Kafirun 4

وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ
.
Dan aku tidak menyembah dalam perbudakan nafsumu sebagaimana perbudakanmu. Mustahil aku menyembah pada yang sesungguhnya tidak ada. Ilusimu hijab yang memblokir dirimu, hingga bayangan kau sembah sebagai kenyataan.

Tafsir Sufi Al-Kafirun 5

وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ
.
Kamu dengan segala dusta kegelapanmu jangan pernah mengklaim telah menyembah apa yang aku sembah. Jangan lihat Cahaya-Ku dengan mata gelap tertutupmu.

Tafsir Sufi Al-Kafirun 6

لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
.
Bagimu agamamu yang memperbudak dirimu dalam siksa hijab, dengan kesesatan hawa nafsumu. Dan bagiku agamaku dengan limpahan Cahaya Ridho, Fadhal dan Rahmat-Nya, sehingga aku menyembah-Nya, Dari-Nya, Kepada-Nya, Bersama-Nya, Bagi-Nya.

“Tafsir Sufi Al-Kafirun di atas untuk mendidik hawa nafsu kita sendiri. Bukan menuding orang lain. Tengoklah diri kita sendiri isinya hanya full  kegelapan (Robbanaa dzolamnaa anfusana). Apa yang kita sombongkan? Banggakan? Andalkan?” tandas Kiai Luqman.

Jumat, 01 Maret 2019

Sholat Hadiah

Ulama Syafi'iyah menganjurkan shalat unsi atau shalat hadiah yang pahalanya ditujukan untuk orang-orang yang sudah wafat. Tetapi shalat sunnah dua rakaat ini lebih baik dikerjakan ketika jenazah baru saja dikebumikan karena dapat meringankan beban jenazah di alam kuburnya.

Berikut ini adalah lafal niat shalat hadiah:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الهَدِيَّةِ رَكْعَتَيْنِ لِلهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatal hadiyyati rak‘ataini lillāhi ta‘ālā.

Artinya, “Aku menyengaja sembahyang sunnah hadiah dua rakaat karena Allah SWT,” (Lihat Perukunan Melayu, ikhtisar dari karya Syekh M Arsyad Banjar, [Jakarta, Al-Aidarus: tanpa tahun], halaman 21).

Syekh M Nawawi Banten dalam Kitab Nihayatuz Zain membawa sebuah riwayat perihal tata cara shalat hadiah:

روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لا يأتى على الميت أشد من الليلة الأولى, فارحموا بالصدقة من يموت. فمن لم يجد فليصل ركعتين يقرأ فيهما: أي في كل ركعة منهما فاتحة الكتاب مرة, وآية الكرسى مرة, وألهاكم التكاثر مرة, وقل هو الله أحد عشر مرات, ويقول بعد السلام: اللهم إني صليت هذه الصلاة وتعلم ما أريد, اللهم ابعث ثوابها إلى قبر فلان بن فلان فيبعث الله من ساعته إلى قبره ألف ملك مع كل ملك نور وهدية يؤنسونه إلى يوم ينفخ فى الصور
.
Diriwayatkan dari Rasulullah, Ia bersabda, “Tiada beban siksa yang lebih keras dari malam pertama kematiannya. Karenanya, kasihanilah mayit itu dengan bersedekah. Siapa yang tidak mampu bersedekah, maka hendaklah sembahyang dua raka‘at. Di setiap raka‘at, ia membaca surat Al-Fatihah 1 kali, Ayat Kursi 1 kali, surat Attaktsur 1 kali, dan surat Al-ikhlash 11 kali. Setelah salam, ia berdoa, ‘Allahumma inni shallaitu hadzihis shalata wa ta‘lamu ma urid. Allahummab ‘ats tsawabaha ila qabri fulan ibni fulan (sebut nama mayit yang kita maksud),’ Tuhanku, aku telah lakukan sembahyang ini. Kau pun mengerti maksudku. Tuhanku, sampaikanlah pahala sembahyangku ini ke kubur (sebut nama mayit yang dimaksud), niscaya Allah sejak saat itu mengirim 1000 malaikat. Tiap malaikat membawakan cahaya dan hadiah yang kan menghibur mayit sampai hari Kiamat tiba.” [Syekh Nawawi Albantani, Nihayatuz Zain, [Bandung, Al-Maarif], halaman 107).

Pahala shalat sunnah hadiah ini juga dapat mengalir kepada mereka yang mengamalkannya seperti keterangan sebuah hadits berikut ini:

أن فاعل ذلك له ثواب جسيم, منه أنه لا يخرج من الدنيا حتى يرى مكانه فى الجنة.
.
“Siapa saja yang melakukan sedekah atau sembahyang itu, akan mendapat pahala yang besar. Di antaranya, ia takkan meninggalkan dunia sampai melihat tempatnya di surga kelak.” Wallahu a‘lam.