Selasa, 17 September 2019

Shogīrõ atau Shighõrõ

Mana Yang Benar "Shaghiiraa" (صَغِيْرًا) atau "Shighaaraa" (صِغَارًا) ?

Terkadang kita mendengar ada yang membaca do'a untuk kedua orang tua dengan kata yang berakhir dengan "shaghiiraa", terkadang pula ada yang mengakhirinya dengan "shighaaraa".

Barangkali ada yang bertanya, "Manakah yang benar di antara keduanya?"

Baiklah, kali ini kita akan membahasnya.

Di dalam Al- Qur'an kita mendapatkan do'a untuk kedua orang tua seperti berikut ini:

وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
(QS. Al Israa': 24)

Untuk menjawab pertanyaan judul di atas, kita harus mengetahui kedudukan kata "shaghiiraa" dalam susunan kalimat do'a tersebut. Intinya kita harus kembali kepada pelajaran ilmu nahwu yang sudah kita pelajari. Singkatnya: Kita i'rab dulu susunan kalimatnya.

و: huruf 'athaf
قل: fi'il amr
رب: munaada yang bersambung dengan yaa' mutakallim yang mahdzuuf (dihilangkan) dan huruf nidaa'nya juga mahdzuuf
ارحم: fi'il amr
هما: maf'ul bih
كـ: huruf jar dan huruf tasybiih
ما: mashdariyyah
ربيا: fi'il maadhi, fa'ilnya alif tatsniyah
ني: nun wiqaayah dan yaa' mutakallim sebagai maf'ul bih
صغيرا: hal manshuub
.
Dari uraian i'rab singkat di atas, kita mengetahui bahwa kata "shaghiiraa" tersebut berkedudukan (atau i'rabnya) sebagai "haal" (حال), yang menerangkan keadaan "yaa' mutakallim" (ي) sebagai "maf'ul biih".
Kesimpulannya: Dikarenakan "shaahibul haal" nya (yang diterangkan keadaannya) mufrad, maka "haal" juga ikut mufrad. Dalam kasus ini, "shaahibul haal" nya adalah "yaa' mutakallim" pada kata (نِيْ) yang artinya: aku (mufrad), maka haal nya juga mufrad (untuk satu orang): صَغِيْرًا

Berbeda kasusnya jika susunan kalimatnya seperti di bawah ini:

ربنا ارحمهما كما ربيانَا صِغَارًا
.
Apa bedanya dengan susunan sebelumnya?

Na'am, maf'ul bih nya berubah. Sebelumnya (ني) , sekarang (نا)

Dengan demikian, ketika yang diterangkan keadaannya (shaahibul haal) dalam bentuk jamak (نا), yang artinya: kami (jamak), maka "haal" nya juga ikut jamak: صِغَارًا

Dari penjelasan singkat di atas, kita bisa menjawab pertanyaan judul: manakah di antara keduanya yang benar?

Jawabannya: Keduanya benar jika digunakan pada tempat yang sesuai.

Faidah:
1. Jika berdo'a untuk diri sendiri dan orang tua sendiri, maka lafazhnya:

رب اغفر لي ولِوَالِدَيَّ وارحمهما كما ربياني صَغِيْرًا
.
2. Jika berdo'a untuk orang lain dan orang tua yang lain juga, maka lafazhnya ada dua macam:

ربنا اغفر لنا ولِوَالِدَيْنَا وارحمهما كما رَبَّيَانَا صِغَارًا
.
atau

ربنا اغفر لنا ولِوَالِدِيْنَا وارحمهم كما رَبَّوْنَا صِغَارًا
.
Hendaknya diperhatikan, berbeda jenis katanya maka berbeda pula kata gantinya.

Selamat belajar, semoga bermanfaat.

Jumat, 23 Agustus 2019

MENGENAL KITAB “AL-ARBA’IN AN-NAWAWIYYAH”

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” (كتاب الأربعين النووية) adalah kitab yang sangat terkenal di negeri ini. Bukan hanya di negeri ini, kitab ini juga terkenal di seluruh dunia Islam selama berabad-abad. Pondok pesantren, dayah, madrasah, masjid, musholla, pengajian rumah, dan berbagai lembaga pendidikan Islam menjadikannya sebagai “kitab wajib” yang dikaji. Ribuan kaum muslimin menghafalnya dan menjadikannya sebagai bahan ujian untuk kepentingan-kepentingan yang beragam. Masyarakat di negeri kita kadang menyebutnya secara singkat dengan julukan "Hadis Arba'in".

Penerbit “Dar Al-Minhaj” di Jedah menulis judulnya dengan merofa’kan lafaz “Al-Arba’in” sehingga terbaca “Al-Arba’un An-Nawawiyyah” (الأربعون النووية). Barangkali pelafalan ini yang lebih akurat, karena judul kitab apapun sesungguhnya adalah mengasumsikan posisinya sebagai khobar dari mubtada’ mahdzuf yang berupa isim isyaroh. Karena itulah Sibawaih dalam “Al-Kitab” -karya pertama tentang ilmu nahwu yang menjadi pionir bagi seluruh kitab nahwu selanjutnya – ketika menulis judul bab selalu menyertakan isim isyaroh tersebut. Beliau menulis umpamanya, “hadza bab Al-fa’il”, “hadza bab al-jarr, “hadza bab al-ma’rifah” dan seterusnya. Adapun di masyarakat, kitab ini lebih populer dengan dibaca “Al-Arba’in” (الأربعين). Pelafalan ini barangkali mengasumsikan posisi “Al-Arba’in” sebagai “mudhof ilaih” dari “mudhof mahdzuf” yang telah dibuang yaitu lafaz “kitabu”.

Sifat “An-Nawawiyyah” yang melekat pada kata “Al-Arba’in” diambil dari laqob pengarangnya yakni An-Nawawi. Jadi makna harfiah judul “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” adalah “40 (hadis) yang dinisbatkan pada An-Nawawi” (karena dikompilasi oleh beliau). Adapun nama asli kitab yang diberikan pengarang adalah “Al-Arba’un Fi Mabani Al-Islam wa Qowa’idi Al-Ahkam” (الأربعون في مباني الإسلام وقواعد الأحكام).

Pengarangnya adalah imam An-Nawawi. Seorang ulama besar bermazhab Asy-Syafi’i yang popularitasnya sudah cukup untuk membuat kita tidak perlu berpanjang lebar mengenalkan beliau (ada sejumlah catatan khusus saya terkait An-Nawawi yang sudah pernah dipublikasikan di situs www.irtaqi.net yaitu “Karomah An-Nawawi”, “Setinggi Apa Kemampuan Bahasa Arab An-Nawawi?”, “Produktivitas An-Nawawi”, dan “An-Nawawi dan Ilmu Kedokteran”).

Kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” terhitung kitab hadis karena isinya memang hanya hadis-hadis Nabi ﷺ. Kitab ini berfisik tipis dan kecil, tapi agung isinya. Jumlah hadisnya “hanya” 40-an saja (lebih akurat lagi, berjumlah 42 hadis). Meskipun jumlah hadis riilnya hanya 42, tetapi kitab ini disebut “Al-Arba’in” yang secara harfiah bermakna 40 dan ini biasa dalam bahasa Arab karena digolongkan ke dalam bahasa majaz, tepatnya masuk kaidah “ithlaqul juz-i ‘alal kulli”.

Adapun alasan An-Nawawi menambah 2 hadis yang melengkapi 40, maka sebabnya diterangkan Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya yang berjudul “Al-Fathu Al-Mubin”. Menurut Al-Haitami, An-Nawawi takjub dengan hadis ke 41 yang berisi perintah melawan hawa nafsu dan perintah mengikuti syariat. Isi hadis ini tentu saja menjadi “ruh” dari seluruh 40 hadis sebelumnya. Hadis ke-42 juga dikagumi An-Nawawi karena berisi perintah doa, istighfar, mengharap rahmat, dan meminta pertolongan Allah untuk menjalankan semua perintah-Nya. Hadis semacam ini diperlukan seorang hamba agar merasa ringan ketika menjalankan semua syariat Allah.

42 hadis yang ditulis dalam kitab ini diharapkan sudah cukup mewakili dan merangkum seluruh hadis Nabi ﷺ karena merupakan hadis-hadis inti. Hadis-hadis itu, di antaranya oleh sebagian ulama disebut sebagai “rubu’ut tasyri’” (seperempat legislasi hukum Islam), “rubu’ud din” (seperempat dien), dan “tsulutsud din” (sepertiga dien). Dengan hadis-hadis yang seperti ini sifatnya, orang yang mampu menghafalkannya diharapkan seakan-akan telah menguasai seluruh hadis Nabi ﷺ dalam bentuk substansinya sehingga hadis-hadis itu diharapkan sudah cukup menjadi poros ajaran Islam dalam menghadapi kehidupan.

Awal mula penulisan kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” ini berasal dari majelis Ibnu Ash-Sholah, seorang ulama hadis besar di negeri Syam yang terkenal mengarang ilmu mustholah hadis bernama “Muqoddimah Ibnu Ash-Sholah”. Suatu saat, Ibnu Ash-Sholah membuat majelis untuk mendiktekan 26 hadis Nabi ﷺ yang bersifat “jawami’ kalim” (singkat, padat dan mewakili banyak hal). Hadis-hadis itu disebut dengan nama “Al-Ahadits Al-Kulliyyah”. Hadis sebanyak 26 ini kemudian diambil An-Nawawi lalu dilengkapi menjadi 42 hadis, sehingga dengan cara tersebut lahirlah kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” ini.

Adapun dari sisi motivasi penulisan kitab, An-Nawawi menerangkannya dalam muqoddimah. Beliau menjelaskan bahwa ada sejumlah riwayat -meski dhoif– yang memberi janji bahwa siapapun yang menjagakan hadis sebanyak 40 buah untuk umat Islam maka di akhirat nanti akan dibangkitkan dalam barisan para ulama dan fuqoha’. Barangkali karena dorongan riwayat ini, banyak sekali para ulama yang mengarang kitab berisi hadis yang berjumlah 40 atau sekitar 40 dengan topik-topik tertentu, seperti topik ushuluddin, furu’, jihad, zuhud, khuthob dan lain-lain. Contoh kitab-kitab yang dikarang dengan sifat seperti ini di antaranya, “Al-Jihad” karya Ibnu Al-Mubarok (w. 181 H), “Al-Arba’in fi Shifati Robbil ‘Alamin” karya Adz-Dzahabi (w. 748 H), “Al-Arba’in Fi Al-Jihad Wa Al-Mujahidin” karya Abu Al-Faroj Al-Muqri’ (w. 618), “Al-Arba’in Fi Manaqibi Ummahati Al-Mu’minin” karya Ibnu ‘Asakir (w. 620 H), “Al-Arba’in Fi At-Tashowwuf” karya As-Sulami (w. 412 H), dan lain-lain. An-Nawawi sendiri menegaskan bahwa karangannya ini dibuat setelah istikhoroh karena berqudwah kepada para ulama ini. Hanya saja tumpuan utama An-Nawawi tentu saja bukan riwayat dhoif tadi, tetapi hadis sahih yang memerintahkan untuk menyampaikan hadis Rasulullah ﷺ. Riwayat dhoif yang menerangkan keutamaan menghafal 40 hadis Nabi ﷺ hanya ditempatkan sebagai penyemangat (fadhoil amal) saja.

Penulisan kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” rampung pada malam Kamis, tanggal 29 Jumada Al-Ula tahun 668 H.

Dalam kitab ini, An-Nawawi berusaha hanya memasukkan hadis-hadis sahih saja. Sebagian besar hadis diambil dari shahih Al-Bukhari dan sahih Muslim. Sanad hadis-hadis tersebut dibuang dan hanya disisakan perawi shahabat saja dengan maksud agar mudah dihafalkan. Dalam pandangan An-Nawawi, tentu saja hadis yang beliau cantumkan adalah sahih atau minimal hasan. Hanya saja, ada ulama yang berbeda pendapat dengan An-Nawawi, seperti Ibnu Rojab misalnya yang mendhoifkan sanad hadis ke 12, 29, 30, 31, 39, dan 41. Jadi ada 6 hadis yang didhoifkan Ibnu Rojab. Siapapun yang ingin mengetahui lebih detail alasan kritikan Ibnu Rojab, maka dipersilakan mengkaji kitab beliau yang terkenal bernama “Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam”.

Hadis-hadis yang dikumpulkan An-Nawawi dalam kitab ini mengandung ajaran ushuluddin, kaidah-kaidah syariat, prinsip-prinsip dien dan rangkuman ajaran Islam. Isinya mengajarkan secara global semua jenis ketaatan. An-Nawawi menegaskan bahwa sudah sepantasnya siapapun yang mencari akhirat mengetahui hadis-hadis seperti ini.

Kitab ini sangat populer meskipun tidak memakai judul “menggelegar” dan “bombastis”. Ia tetap tersohor, meskipun tidak dipromosikan dengan cara pengiklanan yang canggih dan rumit. Barangkali reputasi keilmuan An-Nawawi yang memang tak terbantahkan dan juga keikhlasannya yang mencapai level tinggi sehingga Allah berkenan memberkahi karya ini. Jika kitab-kitab seperti “Minhaju Ath-Tholibin”, “Roudhotu Ath-Tholibin”, “Al-Majmu’” dan semisalnya banyak memberi manfaat ulama-ulama bermazhab Asy-Syafi’i secara khusus maka kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” ini manfaatnya lintas mazhab. Tidak peduli apapun mazhab seseorang, kitab “Al-Arba’in” ini diakui kualitasnya sehingga dikaji orang berbagai ulama.

Banyak sekali kitab yang lahir dari kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah”. Sebagian peneliti menghitung ada lebih dari 90 kitab lahir dari kitab ini. Ada yang membuatkan manzhumah untuknya, mengi’robinya, melakukan dhobth lafaz, membahas kitab-kitab yang lahir darinya, mengkaji perawi-perawi hadisnya, mentakhrij, mensyarahnya, membuat ta’liqot dan lain-lain.

Di antara ulama yang membuatkan manzhumah untuk kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” adalah Ibnu Ghozi dalam karya yang berjudul “Al-Arba’un An-Nawawiyyah Al-Musammat bi Muzilati Al-Isykal li Al-Mubtadi min Jumlati Ar-Rijal”.

Adapula yang memberi perhatian pada i’robnya seperti yang dilakukan Husain Abdul Jalil Yusuf dan Umar Al-‘Umri. Adapula yang melakukan dhobth serius seperti yang dilakukan Ali Al-Liby dalam kitab “Fathu Robbi Al-Bariyyah bi Dhobthi Al-Arba’in An-Nawawiyyah”.

Adapula kitab khusus yang merekam sejauh mana perhatian ulama berbagai zaman terhadap kitab ini, seperti yang dilakukan Rosyid al-Ghufaili dalam karya berjudul “Ithafu Al-Anam bi Dzikri Juhudi Al-‘Ulama’ ‘ala Al-Arba’in fi Mabani Al-Islam wa Qowa’idi Al-Ahkam”.

Adapula ulama yang memberi perhatian terhadap perawi-perawi dalam sanad hadis kitab ini. Di antaranya, Ibnu ‘Allan (w. 1057 H) dalam kitab berjudul “Al-Mu’in ‘ala Ma’rifati Ar-Rijal Al-Madzkurin fi Al-Arba’in li An-Nawawi”, dan Ali Kabirul Ilah Abadi (w. 1090 H) dalam kitab bernama “Mathlubu Ath-Tholibin Fi Asma-i Rijali Al-Arba’in”.

Adapula yang memberi perhatian dalam hal takhrijnya. Di antaranya, Ibnu Syaikhi Al-Bi’ri (w. 802 H), Al-Iroqi (w. 802 H) dalam karya berjudul “Amali ‘ala Al-Arba’in”, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (w. 852 H) dalam kitab berjudul “Takhriju Al-Arba’in An-Nawawiyyah bi Al-Asanid Al-‘Aliyyah”, As-Sakhowi (w. 902 H), Ibnu Al-Mubarrod Ash-Sholihi dalam karya berjudul “An-Nashihah fi Takhriji Al-Ahadits An-Nabawiyyah bi Al-Asanid Ash-Shohihah”, Ibnu Thulun (w. 953 H, Murtadho Az-Zabidi (w. 1205 H), Fauzi dalam karya berjudul “Al-Adhwa’ As-Samawiyyah fi Takhriji Al-Arba’in An-Nawawiyyah”, dan lain-lain.

Adapun syarahnya, ini bagian terbesarnya. Di antara syarahnya, Syarah An-Nawawi (w. 676 H) sendiri, (ada yang tidak setuju karena yang benar adalah muridnya; Ibnu Al-‘Atthorlah yang mensyarahnya. Ibnu Al-‘Atthor dalam muqoddimah syarahnya menegaskan bahwa An-Nawawi tidak sempat mensyarahnya), “Syarah Ibnu Farh” (w. 699 H), “Syarah Ibnu Daqiqi Al-‘ied” (w. 702 H) yang kemudian darinya lahir “Taqrirot Al-‘Alawi” (1367 H), “Minhatu Ath-Tholibin li Hifzhi Al-Ahadits Al-Arba’in” karya Al-Hamawi (710 H), “At-Ta’yin Fi Syarhi Al-Arba’in” karya Najmuddin Ath-Thufi (w. 716 H), “Syarah Ibnu Al-‘Atthor” (w. 724 H) murid An-Nawawi sendiri yang terkenal dengan gelar “Mukhtashir An-Nawawi” atau “Al-Mukhtashir”, “Syarah Ahmad Al-Mishri” (w. sekitar 730 H), “Syarah Asy-Syathnufi” (w. 733 H), “Al-Manhaj Al-Mubin Fi Syarhi Al-Arba’in” karya Al-Fakihani (w. 734 H) lalu kitab ini diringkas sendiri oleh pengarangnya menjadi “Mukhtashor Al-Manhaj Al-Mubin”, “Umdatu Ath-Tholibin Fi Syarhi Al-Ahadits Al-Arba’in” karya Ibnu Al-Khozin (w. 741 H), “Syarah At-Tadmuri” (w. 741 H), “Minhaju As-Salikin Wa ‘Umdatu Ath-Tholibin” karya Ibnu Khofaja Ash-Shofadi (750 H), “Syarah Al-Fayyumi” (w. 770 H), “Syarah Al-Hakami” (w. 773 H), “Siroju Al-‘Abidin Fi Syarhi Al-Arba’in” karya Al-Kurdi (w. 775 H), “Natsru Fawa-idi Al-Murbi’in An-Nabawiyyah Fi Nasyri Fawa-idi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Mardini (w. 788 H), “Syarah At-Taftazani” (w. 791/792 H), “Syarah Az-Zarkasyi” (w. 794 H), “Jami’ Al-Ulum Wa Al-Hikam Fi Syarhi Khomsina Haditsan Min Jawami’i Al-Kalim” karya Ibnu Rojab (795 H), “Syarah Al-Halwa-i” (w. 802 H atau 804 H), “Syarah Al-Akhowi” (w. 802 H), “Ad-Durru Ar-Roshin Al-Mustakhroj min Bahri Al-Arba’in” karya Al-Mas’udi (w. 803 H ), “Al-Mu’in ‘Ala Tafahhumi Al-Arba’in” karya Ibnu Al-Mulaqqin (w. 804 H), “Syarah Al-Asyuthi” (w. 807 H), “Syarah As’ad Al-‘Amri” (w. 812 H), “At-Tabyin Fi Syarhi Al-Arba’in” karya Ibnu Jama’ah (819 H), “Al-Jawahir Al-Bahiyyah Fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Ibnu Al-‘Iroqi (w. 826 H), “Syarah Al-Hishni” (w. 829 H), “Syarah Al-‘Ujaimi” (w. 844 H), “Idhoh Al-Kalimat An-Nuroniyyah Fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Khojandi (w.851 H), “Syarah At-Tibrizi” (w.855 H), “Syarah Muhammad As-Suyuthi” (w. 856 H), “Syarah Abu Al-Qosim An-Nuwairi” (857 H), “Syarah Ibnu Imam Al-Kamiliyyah” (w. 864 H), “Syarah Ibnu ‘Imad/Al-Aqfahsi” (w. 867 H), “Al-Faidhu Al-Mu’in Fi Syarhi Al-Arba’in” karya Al-Balbisi (w. 878 H), “Syarah Ibnu Qowan” (w. 889 H), “Syarah Al-Kholwati” (w. 899 H), “Ad-Duroru Al-Mudhiyyah Fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Adh-Dhomiri, “Syarah Al-Iji” (w. 906 H), “Syarah As-Suyuthi” ( w. 911 H), “Al-Afkar An-Nuroniyyah Fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Ibnu Al-‘Izz Al-Hijazi (w. 912 H), “Syarah Al-Fasi” (w. 917 H), “Al-Hadi Li Al-Mustarsyidin Fi Syarhi Al-Arba’in” karya Al-Kazuruni (w. setelah 923 H), “Syarah Zakariyya Al-Anshori” (w. 926 H), “Syarah Ibnu Kamal Basya” (w. 940 H), “Syarah Ad-Dulaji” (w. 947 H), “Syarah Asy-Syatawi” (w. 950 H), “Al-Fathu Al-Mubin bi Syarhi Al-Arba’in” karya Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H), “Al-Majalis As-Saniyyah Fi Al-Kalam ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Fasyni (w.978 H) yang kemudian melahirkan “Mukhtashor At-Taghoroghroti” (w. 1278 H), “Syarah Mushlihuddin Al-Lari” (w. 979 H), “Dzukhru Al-Akhiroh Fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Aqohshori (w. 980 H), “Ar-Royahin Al-Biqo’iyyah Fi Syarhi Al-Ahadits An-Nawawiyyah” karya Al-Biqo’i (w. 980 H), “Syarah Bir ‘Ali” (w. 981 H), “Syarah Al-Mansyalili” (w. 999 H), “Syarah Ad-Danusyari” (w. 1101 H), “Syarah Batamakji Zadah” (w. 1014 H), “Al-Mubin Al-Mu’in li Fahmi Al-Arba’in” karya Al-Mulla ‘Ali Al-Qori (1014 H), “Syarah Sa’id Al-Mufti”, “Miftahu Al-Futuhat Fi Syarhi Al-Arba’in” karya Ibnu Iyas Basya Ar-Rumi (w. 1015 H), “Al-Jawahir Al-Bahiyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Asy-Syibsyiri (w. 1019 H) yang darinya lahir “Khulashotu Al-Ghuror Ar-Rodhiyyah Al-Ba-ihah bi Sirri Al-Arba’in An-Nawawiyyah wa Syarhiha Al-Jawahir Al-Bahiyyah” karya Al-Khudhoiri (w. 1186 H) dan “Arusu Al-Afroh” karya An-Nabrowi (w. 1257 H), “Syarah Al-Munawi” (w. 1031 H), “Syarah Al-Maulawi” (w. 1040 H), “Syarah Al-Barsawi” (w. 1042 H), “Syarah Nuruddin Al-Halabi” (w. 1044 H), “Al-Faidhu Al-Matin fi Syarhi Al-Arba’in” karya Ar-Rosyidi (w. 1055H), “Syarah Ibnu Hijazi” (w. 1065 H ), “Al-Kafi fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Mas’ud Al-‘Alawi (w. 1067 H), “Al-Jauharu Ats-Tsamin fi Syarhi Al-Arba’in” karya Al-Yaziji (w. 1069 H), “Syarah Ar-Rusmuki”, “Al-Futuhat Al-Wahbiyyah bi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Asy-Syabarkhiti (w. 1106 H), “Syarah Al-Hujaiyyij” (w. 1108 H), “Syarah Al-Busalimi” (w. 1110 H), “Syarah An-Nafrowi” (w. 1125 H), “Syarah Ibnu Al-‘Imad Al-Akri” (w. 1128 H), “Syarah Sulaiman Ar-Rumi” (w. 1134 H), “Syarah Al-Istanbuli” (w. 1137 H), “Ad-Duroru As-Saniyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Umar Ath-Thorobulusi (w. 1147 H), “Syarah Al-Bisthomi” (w. 1157 H), “Syarah Al-Kasyfi” (w. 1160 H), “Tuhfatu Al-Muhibbin fi Syarhi Al-Arba’in” karya Muhammad Hayat As-Sindi (w. 1163 H) yang kemudian dari kitab ini lahir kitab “At-Ta’liqot Ar-Rosyidiyyah ‘ala Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Ar-Rosyidi (w. 1416 H), “Husnu An-Niyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya As-Sihawi (w. 1167 H), “Bughyatu Ath-Tholibin Syarhu Al-Arba’in” karya Abu As-Su’ud Al-Husaini, “Nibrosu Al-‘Uqul Adz-Dzakiyyah bi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Aqkirmani (w. 1174 H), “Lubabu Ath-Tholibin bis Syarhi Al-Arba’in” karya As-Suhaimi (w. 1178 H), “An-Nur Al-Mubin ‘ala Matni Al-Arba’in”, “Syarah Al-Qunawi’ (w.1195 H), “Syarah Ath-Thurohali” (w. 1197 H), “Ta’liq ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Ali Az-Zayyat, “Syarah At-Tawudi (w. 1209 H), ‘Syarah Al-Baili” (w. 1213 H), “Syarah Ibnu Bunayyis Al-Fasi” (w. 1213 H), “Syarah Wajihuddin Al-Hindi” (w. 1214 H), “Syarah Isma’il Mufid Al-‘Atthor” (w. 1217 H), “Syarah Abdul Qodir Al-Fasi” (w. 1219 H), “Syarah Al-Mahjubi” (w. 1220 H), “Al-Hablu Al-Matin Fi Syarhi Al-Arba’in” karya Abdul Basith Al-Qinnauji (w. 1223 H), “Syarah Al-Faruqi” (w. 1223 H), “Syarah Al-Masalikhi” (w. 1225 H), “Syarah Ibnu Mushthofa ‘Asyir” (w. 1226 H), “Syarah Ibnu Kiron” ( w. 1227 H), “Syarah Wajihullah Al-Hindi’ (w. 1229 H), “Syarah Ahmad Al-Murri” (w. 1235 H), “Syarah Muhammad Fal Asy-Syanqithi” (w. 1238 H), “Ats-Tsamin fi Syarhi Al-Arba’in” karya Al-Madarisi (w. 1267 H), “Ad-Duror As-Saniyyah ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah”karya Asy-Syabrowini (w. 1267 H), “Syarah Al-Kursifi”, “Al-Latho-if As-Saniyyah ‘Ala Al-Ahadits An-Nawawiyyah” karya Ad-Dulaimi (w. 1300 H), “Al-Imdadat Al-Ilahiyyah ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Qowaqji (w. 1305 H), “Syarah Ahmad Ath-Tholib Al-Murri” (w. 1321 H), “Syarah Hasyim Asy-Syarqowi” , “An-Nafahat Al-Muhammadiyyah Fi Al-Ahadits Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Ash-Shoyyadi (w. 1328 H), “Syarah Muhammad Al-Fasi” ( w. 1331 H), “Al-Jawahir Al-Lu’lu-iyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Jurdani (w. 1331 H), “Al-Minah Al-Maulawiyyah bi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya As-Siba’i (w.1332 H), “Syarah Asy-Syarnubi” (w. 1348 H), “Al-Fathu Al-Mubin Fi Syarhi Al-Arba’in” karya As-Sukuri (w. 1349 H), “Syarah At-Tazarwati” (w. 1352 H), “Al-Burud Ath-Tholsiyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Ibnu Thols ( w. 1355 H), “An-Nuzhatu Al-Bahiyyah fi Syarhi Ahaditsi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Qosim Al-Qoisi (w. 1374 H), “Mahasinu Ad-Din ‘ala Matni Al-Arba’in” dan “Ta’limu Al-Ahabb Ahaditsa An-Nawawi wabni Rojab” karya Faishol Alu Mubarok (w. 1376 H), “Syarah Abdurrahman As-Sa’di” (w. 1376 H), “Syarah Al-Kattani” (w. 1382 H), “Khotmatu Kitabi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Kattani ( w. 1382 H), “Min Misykati An-Nubuwwah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Farfuri (w. 1407 H), syarah berupa tesis yang diajukan oleh ‘Awadh As-Sa’idi tahun 1408 H, “Syarah Abdullah Al-Anshori” ( w. 1410 H), “At-Tuhfah Ar-Robbaniyyah syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Isma’il Al-Anshori (w. 1417 H), “Syarah ‘Athiyyah Salim” (w. 1420 H) , “Ta’liq ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Ibnu Al-‘Utsaimin (w. 1421 H), “Syarah Sholih Alu Asy-Syaikh”, “Fathu Al-Qowiyy Al-Matin Fi Syarhi Al-Arba’in Wa Tatimmatu Al-Khomsin” karya Abdul Muhsin Al-‘Abbad, “Minhatu Robbi Al-Bariyyah bi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Ghoryani, “Syarah Muhammad Al-Yamani”, “Fathu Al-Qowiyy Syarhu Arba’in An-Nawawi” karya Abdullah Alu Abdul Lathif, “Syarah Rofi’uddin Al-Muroda Abadi”, “Qowa’id As-Saniyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Mirotahi, “Al-Idhoh wa At-Tabyin fi Ma’ani Al-Ahadits Al-Arba’in” dengan pengarang masih misterius, “Asy-Syarhu Al-Mujaz Al-Mufid” karya Abdullah Al-Muhsin, “Al-Mukhtar min Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Abdul Kholiq Mas’ud, “Al-Bayan fi Syarhi Al-Arba’in Haditsan An-Nawawiyyah “ karya Kholid Al-Baithor, “Qowa’id wa Fawa-id min Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Nazhim bin Muhammad Sulthon, “Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fi Tsaubin Jadid” karya Abu Shofiyyah, “Idhohu Al-Ma’ani Al-Khofiyyah fi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Muhammad Tatai, “Al-Wafi fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Mushthofa Dib Al-Bugho dan Muhyiddin Dib Mistu, “Taisiru Robbi Al-Bariyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Muhammad Al-Ahmad, “Syarah Muhammad Bakkar Zakariyya”, “Ar-Riyadh Az-Zakiyyah” karya Abdul Karim Al-Khudhoir, “Syarah ‘Aqil As-Syamiri”, “Al-Jami’ fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Dr. Muhammad Yusri, “Sin wa Jim fi Syarhi Al-Arba’in” karya Husain Ash-Shodiq, “Al-Kafi Min Syuruhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Mahir Al-Hindi, “Syarah Sulaiman Al-Luhaimid”, “Syarah Sa’id Al-Qohthoni”, “Asy-Syuruh Al-Arba’ah ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya empat orang ulama Fas yaitu Ibnu Muhammad At-Tawudi + Abdul Qodir+ Ibnu Ahmad Bunayyis + Ath-Thoyyib, Al-Mabadi’ At-Tarbawiyyah Al-Mustanbathoh min Al-Arba’in An-Nawawiyyah”, “Syarah Ibnu Baz”, “Dzakhirotu Ar-Rowi Syarhu Arba’i An-Nawawi” karya Al-‘Ushoimi, “Asy-Syuruh Ar-Rodhiyyah ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Abdul ‘Al Ar-Rosyidi, “Ta’liqot Tarbawiyyah ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya ‘Aqil Asy-Syamri dan lain-lain.

Dari sekian banyak syarah ini, di antara yang paling terkenal dan terpenting adalah kitab “Jami’ Al-Ulum Wa Al-Hikam Fi Syarhi Khomsina Haditsan Min Jawami’i Al-Kalim” karya Ibnu Rojab (795 H). Dalam kitab ini, Ibnu Rojab menambah 8 hadis sehingga jumlah hadis dalam kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” genap menjadi 50 buah hadis. Delapan hadis ini ditulis Ibnu Rojab dalam muqoddimah kitab ini. Kitab ini kemudian diringkas oleh Abu Bakr Alu Mulla (w. 1270 H) dan Salim bin ‘Id Al-Hilali. Untuk ringkasan Salim Al-Hilali, pengarangnya memberi nama “Iqozh Al-Himam Al-Muntaqo Min Jami’i Al-‘Ulum Wa Al-Hikam Fi Syarhi Khomsina Haditsan min Jawami’i Al-Kalim”.

Syarah penting lainnya adalah “Al-Fathu Al-Mubin bi Syarhi Al-Arba’in” karya Ibnu Hajar Al-Haitami. Dari kitab ini lahir sejumlah hasyiyah, di antaranya, “Ta’liqot Zhorifah wa Tahqiqot Lathifah ‘Ala Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Asy-Syaubari (w. 1069 H), “Hasyiyah Al-Kurdi” (w.1138 H), “Irsyadu Al-Mustarsyidin Li Fahmi Al-Fathi Al-Mubin ‘ala Syarhi Al-Arba’in” karya Al-Jirohi (w.1162 H), “Hasyiyah Al-Madabighi” (w. 1170 H), “Miftahu Ath-Tholibin Li Al-Fathi Al-Mubin” karya As-Sumaihi (w. 1178 H), “Hasyiyah Al-Muntaini” (w. 1214 H). Di samping hasyiyah, ada juga yang membuatkan mukhtashor seperti “Mukhtashor Rodhiyyuddin Al-Haitami (w. 1041 H), dan “Mukhtashor Al-Umri” (w. setelah 1240 H).

Tampak dari syarah-syarah di atas, ulama yang bangkit mensyarah kitab An-Nawawi adalah ulama lintas mazhab. Ibnu Rojab yang mengarang “Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam” dan Ath-Thufi yang mengarang “At-Ta’yin” adalah ulama’ bermazhab Hanbali. Ibnu Al-Mulaqqin yang mengarang “Al-Mu’in ‘ala Tafahhumi Al-Arba’in” dan Ibnu Hajar Al-Haitami yang mengarang “Al-Fathu Al-Mubin” adalah ulama bermazhab Asy-Syafi’i. Mulla ‘Ali Al-Qori yang mengarang “Al-Mubin Al-Mu’in” adalah ulama bermazhab hanafi. Al-Fakihani yang mengarang “Al-Manhaj Al-Mubin” adalah ulama bermazhab maliki.

Di antara sekian banyak syarah di atas, yang sudah tercetak adalah “Syarah Ibnu Farh” (w. 699 H), “Syarah Ibnu Daqiqi Al-‘Ied” (w. 702 H), “At-Ta’yin Fi Syarhi Al-Arba’in” karya Najmuddin Ath-Thufi (w. 716 H), “Syarah Ibnu Al-‘Atthor” (w. 724 H),“Al-Manhaj Al-Mubin Fi Syarhi Al-Arba’in” karya Al-Fakihani (w. 734 H), “Syarah At-Taftazani” (w. 791/792 H), “Jami’ Al-Ulum Wa Al-Hikam Fi Syarhi Khomsina Haditsan Min Jawami’i Al-Kalim” karya Ibnu Rojab (795 H), “Al-Mu’in ‘Ala Tafahhumi Al-Arba’in” karya Ibnu Al-Mulaqqin (w. 804 H), “Al-Fathu Al-Mubin Bisyarhi Al-Arba’in” karya Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H), “Al-Majalis As-Saniyyah Fi Al-Kalam ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Fasyni (w.978 H), “Al-Mubin Al-Mu’in li Fahmi Al-Arba’in” karya Al-Mulla ‘Ali Al-Qori (1014 H), “Al-Jawahir Al-Bahiyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Asy-Syibsyiri (w. 1019 H), “Arusu Al-Afroh” karya An-Nabrowi (w. 1257 H), “Al-Futuhat Al-Wahbiyyah bi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Asy-Syabarkhiti (w. 1106 H), “Tuhfatu Al-Muhibbin fi Syarhi Al-Arba’in” karya Muhammad Hayat As-Sindi (w. 1163 H), “Al-Jawahir Al-Lu’lu-iyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Jurdani (w. 1331 H), “Syarah Asy-Syarnubi” (w. 1348 H), “An-Nuzhatu Al-Bahiyyah fi Syarhi Ahaditsi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Qosim Al-Qoisi (w. 1374 H), “Mahasinu Ad-Din ‘ala Matni Al-Arba’in” dan “Ta’limu Al-Ahabb Ahaditsa An-Nawawi wabni Rojab” karya Faishol Alu Mubarok (w. 1376 H), “Syarah Abdurrahman As-Sa’di” (w. 1376 H), “Min Misykati An-Nubuwwah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Al-Farfuri (w. 1407 H), “At-Tuhfah Ar-Robbaniyyah syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Isma’il Al-Anshori (w. 1417 H), “Syarah ‘Athiyyah Salim” (w. 1420 H), “Ta’liq ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Ibnu Al-‘Utsaimin (w. 1421 H), “Syarah Sholih Alu Asy-Syaikh”, “Fathu Al-Qowiyy Al-Matin Fi Syarhi Al-Arba’in Wa Tatimmatu Al-Khomsin” karya Abdul Muhsin Al-‘Abbad, “Asy-Syarhu Al-Mujaz Al-Mufid” karya Abdullah Al-Muhsin, “Qowa’id wa Fawa-id min Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Nazhim bin Muhammad Sulthon, “Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fi Tsaubin Jadid” karya Abu Shofiyyah, “Idhohu Al-Ma’ani Al-Khofiyyah fi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Muhammad Tatai, “Taisiru Robbi Al-Bariyyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Muhammad Al-Ahmad, “Ar-Riyadh Az-Zakiyyah” karya Abdul Karim Al-Khudhoir, “Al-Kafi Min Syuruhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Mahir Al-Hindi, “Syarah Sulaiman Al-Luhaimid”, “Syarah Sa’id Al-Qohthoni”, “Asy-Syuruh Al-Arba’ah ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya empat orang ulama Fas yaitu Ibnu Muhammad At-Tawudi + Abdul Qodir + Ibnu Ahmad Bunayyis + Ath-Thoyyib, Al-Mabadi’ At-Tarbawiyyah Al-Mustanbathoh min Al-Arba’in An-Nawawiyyah”, “Syarah Ibnu Baz”, “Dzakhirotu Ar-Rowi Syarhu Arba’i An-Nawawi” karya Al-‘Ushoimi, “Asy-Syuruh Ar-Rodhiyyah ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya Abdul ‘Al Ar-Rosyidi, “Ta’liqot Tarbawiyyah ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah” karya ‘Aqil Asy-Syamri, “Iqozh Al-Himam Al-Muntaqo Min Jami’i Al-‘Ulum Wa Al-Hikam Fi Syarhi Khomsina Haditsan min Jawami’i Al-Kalim” karya Al-Hilali, dan lain-lain.

Ada pula yang mensyarah kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” dalam bentuk audio. Di antaranya, Abdul Muhsin Al-‘Abbad, ‘Athiyyah Muhammad Salim, Sa’ad bin Turky Al-Khotslan, Abdul Karim Al-Khudhoir, Sholih Al-‘Ushoimi, Sholih Al-Luhaidan, Muhammad Al-Munajjid, Ibnu Al-‘Utsaimin, Sholih Alu Asy-Syaikh, Falah Isma’il Mandakar, Abdul Muhsin Az-Zamil, Abdullah Al-Ghunaiman, Ibrohim Ar-Ruhaili, Abdurrahman Abdul Kholiq, Umar Al-Muqbil dan lain-lain.

Manuskrip kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” bisa didapatkan di “Al-Maktabah As-Sulaimaniyyah” di Turki, “Markaz Al-Malik Faishol li Al-Buhuts wa Ad-Dirosat Al-Islamiyyah” di Riyadh; Saudi Arabia, “Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah” di Kairo; Mesir, “Al-Maktabah Al-Azhariyyah di Kairo; Mesir, “Al-Khizanah Al-Malikiyyah” (Al-Hasaniyyah) di Ribath; Maroko, “Maktabah Al-Makhthuthot” di Kuwait, “Al-Khizanah Al’Ilmiyyah Ash-Shubaihiyyah” di Sale; Maroko, “Dar Al-Kutub Al-Wathoniyyah” di Tunisa, “Maktabah Asy-Syaikh Abdullah Ibrahim At-Tuwaijiri” di Qoshim; Saudi Arabia, “Maktabah Al-Auqof di Aleppo, Suriah”, Perpustakaan Pankipur di India, Raza Library di Rampur; India Ar-Ridhowiyyah di Mashhad: Iran, Bibliothèque nationale de France di Paris; Prancis, Universitas Leipzig, di Leipzig; Jerman, “British Museum” di London; Inggris, Bibliotheca Apostolica Vaticana/Perpustakaan Vatikan, Beryl Library di Amerika Serikat, “Chester Beatty” di Dublin; Irlandia, dan lain-lain.

Di zaman ini, sejumlah peneliti telah tercatat mencoba mentahqiq. Di antaranya, Bassam Hijazi yang kemudian diterbitkan oleh “Dar Al-Ghoutsani li Ad-Dirosat Al-Qur’aniyyah” di Damaskus Suriah, Ali -Rozihi yang diterbitkan “Dar Al-Atsar” di Shon’a, Ridhwan Muhammad Ridhwan, Muhyiddin Mistu, Abdul Qodir Al-Arnauth, Abdul Aziz As-Sirwan, Nizhom Muhammad Sholih Ya’qubi, Umar Abdul Jabbar, dan lain-lain.

Sejumlah penerbit juga tercatat pernah mencetak kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” ini. Di antaranya, “Mathba’ah ‘Isa Al-Baby Al-Halaby”, “Dar Al-Bukhori”, “Al-Jami’ah Al-Islamiyyah” di Madinah tahun 1395 H, “Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah” di Beirut tahun 1401 H, “Mu-assasah Ar-Risalah” di Beirut tahun 1402 H, “Dar Ar-Ro-id Al-‘Arobi” di Beirut tahun 1404, “Mu-assasah Ar-Royyan” di Beirut tahun 1416 H, “Dar As-Salam” tahun 1428 H, “Dar Al-Minhaj” di Jedah tahun 1430 H, “Dar Al-Hadits Al-Kattaniyyah” tahun 1434 H, “Da-iroh Al-Maktabah Al-Wathoniyyah”, “Dar Asy-Syuruq”, dan lain-lain.

Penerbit “Dar Al-Minhaj” mencetak kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah” ini pada tahun 1430 H/2009 dengan ketebalan 160 hlm atas jasa tahqiq Qoshiyy Muhammad Nurul Hallaq dan Anwar bin Abu Bakr Asy-Syaikhi. Dalam terbitan ini, muhaqqiq meneliti 3 naskah manuskrip yang mana salah satunya memiliki sanad bersambung sampai ke imam An-Nawawi dari jalur Al-Mizzi dan Zain Al-‘Iroqi. Keistimewaan lain cetakan penerbit ini adalah mencantumkan tulisan penutup An-Nawawi yang beliau beri judul “Bab Al-Isyarot Ila Al-Alfazh Al-Musykilat”.

An-Nawawi wafat di sepertiga malam terakhir, tepatnya di malam Rabu tanggal 14 Rajab, tahun 676 H.

رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: irtaqi.net/2018/04/15/mengenal-kitab-al-arbain-nawawiyyah/

Rabu, 07 Agustus 2019

Hadits Nabi Bisa Jadi Menyesatkan

Penyempitan Pengertian Dalil

“Haditsnya kan shahih, ya sudah ikut saja, ustadz”.

Pernyataan diatas bisa benar bisa salah. Benar; karena memang hampir semua ulama sejak zaman dahulu pasti menjunjung tinggi hadits Nabi. Salah; karena telah mempersempit pengertian dalil hanya pada shahih tidaknya hadits saja.

Hanya saja sayangnya pernyataan itu sekarang sering kita temui dari para awam agama, seolah ada model ushul fiqih baru; ushul fiqih cukup hadits shahih.

Dalil secara bahasa artinya sesuatu yang mengantarkan kepada maksud tertentu (Abu Ya’la al-Farra’ w. 458 H, al-Uddah fi Ushul al-Fiqh, h. 1/131). Sedangkan dalam istilah syar’i, dalil adalah:

ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إِلى مطلوب خبري
.
Segala sesuatu yang memungkinkan untuk mengantarkan kepada sesuatu yang diinginkan yang bersifat khabari/ berita dengan analisis yang benar. (Ibnu Muflih w. 763 H, Ushul al-Fiqh, h. 1/ 19, lihat pula: Muhammad bin Ali as-Syaukani w. 1250 H, Irsyad al-Fuhul, h. 1/ 22).

Artinya para ulama dari sejak zaman salaf tak pernah gegabah menentukan sebuah hukum hanya bermodal kepada satu hadits shahih saja. Karena hadits shahih saja belum cukup menjadi produk hukum kecuali setelah melewati pemahaman yang shahih pula.

Selain pula, dalam pembahasan ushul fiqih, dalil yang disepakati oleh semua ulama ada beberapa; seperti al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Adapun yang masih diperselisihkan diantaranya seperti Qaul Shahabi, Syariat sebelum Nabi Muhammad, Mashlahat Mursalah, Urf, dan juga istihsan. (Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, Raudhatu an-Nadzir, h. 1/ 194).

Dalil untuk Orang Awam

Beberapa kali ada teman bertanya kepada saya tentang rute sebuah alamat. Saya berikan peta plus saya gambarkan rutenya. Hanya saja ada beberapa teman yang nyasar di jalan.

Masalah nyasar bisa jadi bukan karena alamatnya yang palsu, atau karena peta atau rutenya yang keliru. Tersesat bisa jadi karena ketidak cakapan seorang membaca peta atau memahami rute.

Maka jika memang masih awam dalam membaca peta, tak ada salahnya jika bertanya kepada orang yang memang sudah tiap hari lewat jalan tersebut. Atau malah nebeng orang lain yang sudah cukup hafal peta itu.

Begitu juga sebagai awam agama. Imam As-Syathibi (w. 790 H) dalam as-Muwafaqat menuliskan:

فتاوى المجتهدين بالنسبة إلى العوام كالأدلة الشرعية بالنسبة إلى المجتهدين
.
Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336).

Hal itu cukup beralasan, kenapa? Karena dalil bagi orang yang awam itu ya buat apa? Ibarat orang yang tidak cakap memasak bahkan malah tidak punya alat memasak, untuk apa diberi bahan mentah.

Sebagaimana Imam Syathibi (w. 790 H) sampaikan, bahkan Imam as-Syathibi melarang orang awam untuk ikut-ikutan menggali hukum sendiri dari dalil:

والدليل عليه أن وجود الأدلة بالنسبة إلى المقلدين وعدمها سواء؛ إذ كانوا لا يستفيدون منها شيئا؛ فليس النظر في الأدلة والاستنباط من شأنهم، ولا يجوز ذلك لهم ألبتة
.
Dasarnya adalah ada dan tidaknya dalil bagi orang awam itu sebenarnya sama saja. Karena mereka belum bisa mengambil faedah dari dalil-dalil itu. Menganalisis dalil-dalil syar’i bukanlah tugas mereka. Bahkan tidak boleh sama sekali mereka melakukan itu. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 337). Imam as-Syathibi (w. 790 H) memang cukup keras dalam melarang orang awam untuk ikut berijtihad sendiri. Dan memang seperti itulah seharusnya.

Awamkah Kita?

Untuk menjawab hal itu, memang butuh kesadaran diri. Tak jarang ada yang beranggapan bahwa kalo sudah ustadz berarti tidak awam, kalo sudah lulus sarjana syariah berarti sudah lulus keawamannya.

Tidak serta merta seorang hafal al-Qur’an dan hadits lantas bukan awam, apalagi hanya pernah belajar Bahasa Arab. Bukti paling nyata adalah tidak semua Orang Arab yang sudah bisa Bahasa Arab sejak kecil lantas bisa dan boleh menggali sendiri hukum dari al-Qur’an dan Hadits.

Hadits Bisa Jadi Menyesatkan

Mana mungkin Hadits Nabi yang shahih itu bisa menyesatkan? Bukan haditsnya yang menyesatkan. Tetapi pemahaman yang belum tuntaslah yang biasanya bisa membuat orang nyasar.

Ibnu Hajar al-Haitami as-Syafi’i (w. 974 H) menukil perkataan Ibnu Uyainah (w. 198 H):

الحديث مضلة إلا للفقهاء
.
Hadits itu bisa jadi menyesatkan kecuali fuqaha’. (Ibnu Hajar al-Haitami w. 974 H, al-Fatawa al-Haditsiah, h. 202). Kita akan lihat buktinya.

Hafal Banyak Hadits Belum Tentu Faqih

Syarat menjadi faqih adalah tahu banyak hadits beserta tahu cara memahaminya. Hanya saja kadang orang yang hafal banyak hadits, tidak tahu banyak terhadap kandungan hadits yang dihafalkan itu. Hal itu sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam:

رب مبلغ أوعى من سامع ورب حامل فقه ليس بفقيه ورب حامل فقه إلى من هو أفقه منه
.
Banyak orang yang hanya disampaikan kepadanya suatu hadits, dan dia lebih paham daripada orang yang mendengarkannya langsung. Banyak yang menyampaikan fiqih tetapi tidak faqih/ faham. Dan banyak pembawa fiqih, dia membawakannya kepada orang yang lebih faham darinya. (HR. Bukhari, h. 1/ 24, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, h. 5/ 365, Ibnu Majah dalam Sunan-nya, h. 1/ 159, Ahmad dalam Musnad-nya, h. 27/ 301)

Kesimpulan sederhana yang bisa kita ambil dari hadits ini adalah tak semua penyampai hadits itu paham atas hadits yang mereka sampaikan.

Tidak Setiap Hadits Harus Diamalkan, Meskipun Shahih

Ibn Wahab (w. 197 H) salah seorang murid dari Imam Malik bin Anas (w. 179 H) pernah suatu ketika berkata:

لولا مالك، والليث لهلكت، كنت أظن أن كل ما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم يعمل به
.
Kalau saja saya (Ibnu Wahab) tidak bertemu dengan Imam Malik (w. 179 H) dan al-Laits bin Saad (w. 175 H), maka celakalah saya. Dahulu saya menyangka segala sesuatu yang datang dari Nabi itu pasti harus diamalkan. (Jamaluddin Muhammad al-Mizzi as-Syafi’i w. 742 H, Tahdzib al-Kamal, h. 24/ 270, lihat pula: Ibnu Asakir w. 571 H, Tarikh Dimasyq, h. 50/ 359)

Awalnya Ibnu Wahab (w. 197 H) menyangka bahwa semua yang datang dari Nabi itu mesti diamalkan. Untungnya beliau bertemu dan berguru kepada ulama sekelas Imam Malik bin Anas (w. 179 H) dan al-Laits bin Saad (w. 175 H).

Hal ini mirip-mirip yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak yang menyangka semua yang datang dari Nabi mesti diamalkan. Tidak mengamalkan berarti menolak, menolak berarti menentang hadits Nabi. Seharusnya mereka itu belajar kepada ulama sekelas Imam Malik bin Anas (w. 179 H), bukan kepada syeikh Google atau syeikh radio.

Intinya, hadits yang shahih juga harus dibarengi dengan pemahaman yang shahih oleh orang-orang yang ahli. Berikut contoh hadits yang shahih hanya tidak diamalkan:

Contoh: Tidak diamalkan dhahir haditsnya saja

Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِل الْقِبلَةَ وَلَا يُوَلها ظهره، شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
.
Ketika kalian buang air besar, maka jangan menghadap kiblat atau membelakanginaya. Tetapi menghadaplah ke TIMUR atau ke BARAT. (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi melarang buang air menghadap atau membelakangi kiblat, tetapi beliau menyuruh menghadap ke timur atau ke barat. Jika kita di Indonesia, bukankah kiblatnya ke arah barat? Disinilah pemahaman terhadap hadits harus tepat.

Contoh: Tidak diamalkan karena mansukh

Dalam sebuah Hadits shahih riwayat Imam Bukhari disebutkan:

أن زيد بن خالد، أخبره أنه، سأل عثمان بن عفان رضي الله عنه، قلت أرأيت إذا جامع فلم يمن، قال عثمان «يتوضأ كما يتوضأ للصلاة ويغسل ذكره» قال عثمان سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألت عن ذلك عليا، والزبير، وطلحة، وأبي بن كعب رضي الله عنهم فأمروه بذلك
.
Zaid bin Tsabit pernah bertanya kepada Utsman bin Affan, apakah yang dilakukan seseorang jika berjima’ dengan istri tetapi tidak keluar mani? Utsman bin Affan menjawab: Berwudhu sebagaimana wudhu’ akan shalat dan memcuci dzakarnya, hal itu saya dengar dari Rasulullah. (Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 1/ 46).

Hadits shahih riwayat Imam Muslim juga menyebutkan:

إنما الماء من الماء
.
Air (wajib mandi) itu karena air (keluar mani). (Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, h. 1/ 269)

Dari kedua hadits yang shahih tadi, disimpulkan bahwa jika seseorang berjima’ dengan istri tetapi tidak mengeluarkan mani maka cukup dengan wudhu dan membasuh dzakar saja.

Meski kedua hadits shahih tadi masih tertulis di dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim, hanya saja para ulama tidak mengamalkan hadits tersebut. Kenapa?

Hadits diatas di-nasakh dengan hadits muttafaq alaih juga, yaitu:

إذا جلس بين شعبها الأربع ومس الختان الختان فقد وجب الغسل
.
Ketika seorang duduk diantara empat cabang kaki wanita dan kedua khitan saling bersentuhan, maka dia harus mandi besar. (Muttafaq alaih)

Contoh: Perbuatan Shahabat berbeda dengan Periwayatan

Ada hal menarik ketika membaca sejarah para shahabat Nabi. Beberapa riwayat menyebutkan ada beberapa shahabat Nabi tidak mengamalkan hadits yang mereka riwayatkan sendiri.

Sebut saja misalnya Aisyah Ummu al-Mu’minin radhiyaAllahu anha. Beliau suatu ketika pernah menikahkan anak perempuan dari saudaranya tanpa ijin walinya terlebih dahulu.

Padahal Aisyah sendiri meriwayatkan hadits tentang larangan menikahkan perempuan tanpa ijin wali. Hadits tersebut adalah:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل
.
Setiap wanita yang menikah tanpa ijin walinya, maka nikahnya batil. (HR. at-Timidzi, h. 2/ 398, Abu Daud, h. 2/ 229, al-Hakim dalam al-Mustadrak, h. 2/ 182 dengan sanad yang shahih).

Sedangkan Aisyah sendiri pernah menikahkan anak dari saudara laki-lakinya; Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar dengan Mundzir bin Zubair. Padahal Abdurrahman; saudara dari Aisyah dan wali bagi Hafshah sedang berada di Syam.

Artinya Aisyah sebagai perawi hadits diatas malah dalam perbuatannya menyelisih terhadap hadits yang beliau riwayatkan sendiri. (Abu Ja’far at-Thahawi w. 321 H, Syarh Ma’ani al-Atsar, h. 3/ 18, lihat pula: Ibnu Hajar al-Asqalani w. 852 H, Fath al-Bari, h. 9/ 186).

Contoh lainnya adalah hadits Abu Hurairah tentang banyaknya basuhan sesuatu yang terkena jilatan anjing; Abu Hurairah meriwayatkan hadits dibasuh 7 kali, sedangkan beliau sendiri melakukan basuhan 3 kali. (Abdul Karim an-Namlah, Mukhalafat as-Shahabi lil Hadits an-Nabawi, h. 125).

Maka dalam hal seperti ini, hanya bermodal hadits sudah shahih saja belum cukup menjadi dalil hukum. Bagaimana mungkin seorang shahabat Nabi yang meriwayatkan sendiri hadits, malah dalam perbuatannya berbeda dengan hadits yang diriwayatkan.

Maka, dalam kaitan kasus seperti ini para ulama ushul fiqih telah membahasnya secara tuntas dalam bab "perbuatan rawi menyelisih riwayatnya sendiri"; apakah mengikuti riwayatnya atau perbuatannya.

Ahli Hadits Tetapi Tidak Mengamalkan Hadits Nabi

Dalam contoh yang lebih nyata, para Ahli Hadits malah “tidak mengamalkan” hadits Nabi yang mereka tuliskan dalam kitab-kitab mereka.

Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim dalam shahih-nya; Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam melarang menuliskan sesuatu apapun terkait beliau selain al-Qur’an.

عن أبي سعيد الخدري، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا تكتبوا عني، ومن كتب عني غير القرآن فليمحه، وحدثوا عني، ولا حرج.. الحديث
.
Rasulullah shallaAllahu alaihi wasallam bersabda: Janganlah kalian menulis tentang saya, siapa yang menuliskan sesuatu tentang saya selain al-Qur’an maka hapuslah. Dan tidaklah mengapa, Sampaikanlah hadits saya. (Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, h. 4/ 2298).

Larangan menulis sesuatu tentang Nabi ini malah tertulis dalam kitab-kitab hadits para ulama ahli hadits. Artinya para ahli hadits malah tidak mengindahkan larangan Nabi, padahal haditsnya shahih.

Inilah mengapa memahami hadits Nabi tidak hanya cukup bermodal shahihnya saja. Hadits diatas dijelaskan dengan hadits khutbah Nabi saat Fathu Makkah:

اكتبوا لأبي شاه
.
Tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah. (Muttafaq alaih)

Para ulama menyebutkan bahwa alasan tidak boleh menuliskan sesuatu selain al-Qur’an saat itu adalah agar tidak bercampur dengan teks al-Qur’an sesuatu yang bukan al-Qur’an.

Bicara Hadits Tetapi Hanya di Mulut Saja

Ada hadits yang cukup serius berbicara tentang orang-orang yang ngomongnya pakai hadits, tapi malah mendapat kritikan dari Nabi:

سيخرج قومٌ في آخرِ الزمان، أحداثُ الأسنان، سفهاءُ الأحلام، يقولون من خيرِ قولِ البرية، لا يجاوزُ إيمانهم حناجرهم، يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية.. الحديث
.
"Akan datang di akhir zaman, suatu kaum yang muda usianya, bodoh cara berpikirnya dan berbicara dengan sabda sebaik-baiknya Makhluq; Rasulullah. Iman mereka tidak sampai melewati tenggorokannya Mereka keluar dari Islam seperti anak panah tembus keluar dari badan binatang buruannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Tentu hadits ini umum, tak hanya menuding kelompok ini atau itu, tetapi lebih sebagai pengingat.

Anak muda, baik secara umur atau keilmuan yang punya cukup semangat menebarkan hadits dan sunnah Nabi tentu sangat bagus. Tetapi bisa jadi orang yang sedikit-sedikit membawa dalil hadits Nabi, belum tentu benar-benar mewakili apa yang Nabi Muhammad syariatkan.

Cara Aman Agar Tak Tersesat

Contoh-contoh hadits shahih yang tidak diamalkan diatas sebenarnya sudah tuntas dibahas oleh para ulama terdahulu. Ulama madzhab fiqih yang empat, telah menuntun kita dengan membuat formulasi cara memahami teks-teks dalil agama. Formulasi pemahaman teks agama itu disebut ilmu ushul fiqih. Hal itu agar tak terjadi penyimpangan pemahaman terhadap teks-teks agama.

Maka, hanya tahu satu hadits shahih saja belum cukup kecuali dipahami dengan cara yang benar oleh orang-orang yang benar-benar benar. waAllahu a’lam bis shawab.

Hanif Luthfi

Jumat, 26 Juli 2019

TELANJANG??

Telanjang atau membuka aurat di depan orang-orang yang diharamkan melihatnya, hukumnya sama dengan ketika tidak ada hajat telanjang di tempat yang sepi (sendirian), yaitu HARAM.

Di dalam kitab Fathul Mu'iin karya Syekh Zainuddin bin 'Abdul Aziiz Al Malibariy disebutkan :

وحرم إن كان ثم من يحرم نظره إليها كما حرم في الخلوة بلا حاجة
.
Haram (telanjang/membuka aurat) apabila disana terdapat orang yang diharamkan melihatnya sebagaimana haram pula (telanjang/membuka aurat) di tempat yg sepi (sendirian) tanpa ada hajat.

Kebolehan telanjang di tempat sepi (sendirian) itu apabila ada hajat (keperluan), meski tujuan hajatnya adalah yang paling ringan, sebagaimana keterangan lanjutan dalam kitab di atas :

وحل فيها لأدنى غرض
.
Dan di HALALKAN (telanjang/membuka aurat) di tempat sepi karena ada tujuan (hajat) yang paling ringan

Contoh hajat yang paling ringan disebutkan di dalam kitab I'aanatuth Thoolibiin :

كتبريد وصيانة ثوب من الدنس والغبار عند كنس البيت وكغسل
.
Seperti (telanjang) biar tubuhnya seger/dingin, agar bajunya terhindar dari kotoran dan debu ketika menyapu rumah dan juga ketika mandi.

Sebelumnya di kitab Fathul Mu'iin terdapat keterangan :

(وجاز تكشف له) للغسل (في خلوة) أو بحضرة من بجوز نظره إلى عورته كزوجة وأمة والستر أفضل
.
BOLEH membuka aurat KARENA MANDI di tempat sepi atau dihadapan orang yang diperbolehkan melihat auratnya, seperti isteri dan "amat" (budak perempuannya), akan tetapi yang AFDHOL (LEBIH UTAMA) adalah tetap menutupi aurat.

Mengapa disebut afdhol ??? Karena ada sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada sahabat Bahzun bin Hakiim, sebagaimana disebutkan di dalam kitab I'aanatuth Thoolibiin karya As Sayyid Bakriy bin Muhammad Syathoo Ad Dimyaathiy :

احفظ عورتك إلا من زوجتك , أو ما ملكت يمينك قال أرأيت إن كان أحدنا خاليا , قال : فالله أحق أن يستحيا منه من الناس
.
"Jagalah auratmu kecuali dari (pandangan) istri atau budakmu," lalu ada sahabat yang bertanya : "Bagaimana pendapat anda apabila salah seorang diantara kami sedang sendirian ?." Beliau menjawab : "Allah lebih berhak untuk dimalui dibandingkan dengan para manusia."

فإن قيل الله سبحانه وتعالى لا يحجب عنه شيء فما فائدة الستر له أجيب بأن يرى متأدبا بين يدي خاقه ورازقه
.
Apabila dikatakan bahwa tidak ada sesuatupun yang terhijab dari Allah subhaanahu wa ta'alaa, lalu apa faidah menutupi aurat kepada-Nya ??? Jawabnya adalah agar seseorang terlihat menjaga adab di hadapan Dzat yang menciptakan dan memberi rejeki kepadanya.

Sedang di dalam kitab At Taqriirat As Sadiidah karya Al Habib Hasan bin Ahmad Al Kaaf, disebutkan bahwa KESUNAHAN MANDI yang ke -16 adalah :

أن يغتسل مستور العورة
.
Mandi dengan cara menutup aurat

Aurat yg dimaksud adalah sebagaimana yang diterangkan di dalam footnote-nya :

وهي السوأتان فيسن له سترهما حيث إنها عورته في الخلوة
.
Yaitu "sau-ataani" (qubul/penis beserta 2 biji testis dan anggota tubuh yang berada diantara dua pantat/dubur dan area sekitarnya), maka DISUNNAHKAN bagi orang yg mandi untuk menutupi keduanya, dimana keduanya adalah auratnya ketika di tempat sepi (sendirian)

Redaksi ibarat diatas tentu yang di maksud adalah bagi LAKI-LAKI, sedang pada kasus PEREMPUAN aurat yang dimaksud adalah sebagaimana yg tertulis di dalam kitab Fathul Mu'iin :

يجب هذا الستر خارج الصلاة أيضا... إلى أن قال... حتى في الخلوة لكن الواجب فيها ستر سواتي الرجل وما بين السرة والركبة غيره.... إلى آخره
.
Wajib menutup aurat ini di luar sholat juga.... Walaupun berada di tempat yang sepi (sendirian), akan tetapi kewajiban menutupi aurat di tempat yang sepi tsb bagi laki-laki adalah bagian "SAUATAI"-nya (QUBUL, DUBUR DAN SEKITARNYA) sedang bagi yang lainnya [WANITA MERDEKA dan "amat" (budak perempuan) yang wajib ditutupi adalah ANGGOTA TUBUH ANTARA PUSAR DAN KEDUA LUTUTNYA].

Catatan :

Bagi yang terpaksa harus mandi dengan telanjang disunnahkan untuk membaca doa "BISMILLAAHILLADZII LAA ILAAHA ILLA HUWA." Karena bacaan ini bisa menutupinya dari pandangan jin, sebagaimana keterangan dari kitab I'aanatuth Thoolibin :

ويسن لمن اغتسل عاريا أن يقول بسم الله الذي لا إله إلا هو لأن ذلك ستر عن أعين الجن

________________

Sedang hukum WUDHU DENGAN TELANJANG adalah HARAM, sebagaimana keterangan di dalam kitab At Taqriiraat As Sadiidah :

ويلزمه أن يستر عنده سوأتيه ويندب بقية عورته
.
Wajib bagi (orang yang mandi) ketika BERWUDHU' untuk menutupi "SAUTAI"-NYA (QUBUL, DUBUL dan SEKITARNYA) dan DISUNNAHKAN untuk menutupi aurat-auratnya yang lain.

Di dalam footnote-nya ada tambahan keterangan tentang sebab kewajiban menutupinya :

لأن العورة في الخلوة هي السوأتا، فيجب سترهما عند الوضوء قبل الغسل، إذ لا حاجة له في كشفهما
.
Karena aurat di tempat sepi (sendirian) adalah "SAUATAI", maka WAJIB menutupi keduanya KETIKA WUDHU' sebelum mandi, karena (pada waktu itu) tidak ada hajat untuk membuka keduanya.

_____________

KESIMPULAN :

1. HARAM TELANJANG/MEMBUKA AURAT dihadapan orang yang haram melihatnya dan HARAM TELANJANG meski di tempat sepi (sendirian) kalau tidak ada hajat.

2. BOLEH TELANJANG/MEMBUKA AURAT KETIKA MANDI, baik sendirian atau bersama orang yang diperbolehkan untuk melihatnya, NAMUN HAL INI MENYELISIHI SUNNAH dan YANG AFDHOL adalah tetap menutupinya untuk MENJAGA ADAB DIHADAPAN ALLAH. Kebolehan pada kasus ini dikarenakan mandi itu termasuk hajat yang memperbolehkan untuk membuka aurat.

3. HARAM BERWUDHU meski di tempat sepi (sendirian) dengan TELANJANG, karena membuka aurat pada kasus ini bukan termasuk hajat.

4. AURAT yang WAJIB DITUTUPI KETIKA DI TEMPAT SEPI (SENDIRIAN) bagi laki-laki adalah "SAUATAIHI" (QUBUL, DUBUR dan daaerah sekitarnya) dan bagi wanita adalah ANGGOTA TUBUH ANTARA PUSAR DAN KEDUA LUTUTNYA)

5. Pergunakan baju basahan berupa sepotong kain/jarit atau sarung untuk mandi.

_____________________

- Bagi para FAKIR CINTA, PARA JOMBLOWERS AKUT, saya tambahin keterangan di dalam kitab Qurratul 'Uyuun bahwa meski ketika suami istri melakukan Jima' itu disunnahkan bagi keduanya untuk telanjang, namun Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tetap memerintahkan untuk memakai penutup/selimut berdasarkan hadis :

إذا جامع أحدكم فلا يتجردان تجرد الحمارين
.
Ketika salah satu diantara kalian bersetubuh, maka jangan sampai keduanya telanjang bulat sebagaimana telanjang bulatnya dua ekor keledai

قال في المداخل : وينبغي أن لا يجامعها وهما مكشوفان بحيث لا يكون عليهما شيء يسترهما. لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ذلك وعابه. وقال فيه كما يفعل العيران أي الحماران، وقد كان الصديق رضي الله عنه يغطي رأسه إذ ذاك حياء من الله
.
Keterangan di dalam kitab Al Madaakhil : Sebaiknya seorang suami tidak menyetubuhi istrinya sedangkan keduanya dalam keadaan telanjang bulat, tanpa penutup (selimut) sama sekali, karena Nabi Muhammad shallallaaahu 'alaihi wa sallam melarang dan mencelanya. Kasusnya seperti apa yang dilakukan oleh dua ekor keledai (yg sedang kawin dalam keadaan telanjang bulat). Bahkan Abu Bakkar Ash Shiddiiq ketika berhubungan suami istri menutupi kepalanya karena rasa malu kepada Allah.

Wallahu a'lam......

Dodi Elhasyimi

Kamis, 25 Juli 2019

DUA PULUH AMANAT KOLOT

1. Sholat awal waktu
2. Ulah eureun néangan elmu
3. Ulah nyia-nyiakeun waktu.
4. Ulah eureun néangan babaturan
5. Pertahankeun Aqidah anu Murni
6. Lamun hayang maju ulah eureun mikir
7. Lamun hayang maju kudu daék capé
8. Ulah embung disebut bodo
9. Ulah embung disebut sahandapeun
10. Sagala nu tumiba ka diri gara-gara diri
11. Ubar diri aya di diri
12. Euweuh nu nyaah kana diri kajaba anu boga diri
13. Harga diri kumaha diri
14. Ari ngitung kudu ti hiji ulah ujug-ujug angka salapan
15. Mun keur nyieun pondasi tong sok waka mikiran kenténg
16. Sanajan teu lumpat tapi ulah cicing
17. Sagedé-gedéna jalan syaré'at ulah matak ngurangan tawakkal ka Alloh
18. Tong leumpang dina hayang, tong cicing dina embung, tapi kudu lempang dina kudu, kudu eureun dina ulah
19. Tong lésot haté tina éling ka Alloh dina kaayaan kumaha waé, sedih, susah jeung bungah
20. Sarébu sobat saeutik teuing, hiji musuh loba teuing.

Mugi aya manfaatna kanggo bekel hirup di dunya sangkan salamet tepi ka akherat jaga...

Rabu, 24 Juli 2019

Qurban dan Àqiqah

FIQH WAQI'IYYAH KURBAN DAN AQIQAH......

Pertanyaan:
Assalaamualaikum..

1. Apabila saya hanya mempunyai uang untuk membeli seekor kambing saja, sedangkan saya baru saja mendapat rizki dari Allah seorang bayi perempuan dan kebetulan sekarang sudah memasuki bulan Dzulhijjah, manakah yang harus saya dahulukan antara aqiqah dan berkurban ? Bolehkah seekor kambing tadi saya niati untuk kurban dan aqiqah sekaligus ? Lalu bagaimana cara membagikan dagingnya ? karena setau saya daging kurban itu sunahnya dibagi dalam keadaan mentah sedang daging aqiqah dalam keadaan matang/dimasak ?

2. Dalam selametan/pembagian aqiqah apakah benar kesunahannya tulang-tulang dari kambing/sapi itu tidak dipecah-pecah atau diremuk, tetapi dipotongi pas ruas-ruasnya, dan bagaimana seandainya daging tsb diolah dengan cara diremuk dan dipotong kecil-kecil, karena sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat agar mudah dibagi-bagikan ?
Sekalian mohon dituliskan pendapat ulama dalam hal ini.

(Dari : Abu Hilwa)

Wa’alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh.....

Jawaban pertanyaan pertama :

Menurut Ibnu 'Arofah (ulama Malikiyyah) : Barangsiapa yang hari/waktu aqiqah anaknya bertepatan dengan 'Idul Adha sedang dia hanya memiliki satu ekor kambing saja, maka dia beraqiqah saja, namun statemen ini dikomentari oleh Ibnu Rusyd : Demikian itu apabila dia masih mempunyai pengharapan untuk bisa melaksanakan kurban setelahnya, apabila tidak mempunyai pengharapan demikian (dia tidak yakin mampu membeli kambing lagi) maka dia berkurban saja, karena hukum berkurban lebih kuat, ada yg berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah yang diwajibkan sedang pendapat tersebut tidak dikatakan pada kasus aqiqah.

Kemudian ada pendapat dari sebagian ulama yang membolehkan/mencukupkan satu ekor kambing untuk kurban dan aqiqah sekaligus, diantaranya adalah para ulama dari golongan tabi'in seperti Muhammad bin Siriin, Al Hasan Al Bashri, Qotadah, Hisyam bin 'Urwah, ada riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal dan juga pendapat sebagian ulama Syafi'iyyah (seperti Imam Ar Ramli)

Referensi :
1. Mawaahibul Jaliil Fii Syarhi Mukhtashor Kholiil juz 3 hal. 258 :

وفي كتاب “مواهب الجليل في شرح مختصر خليل” (3/ 258) للفقيه الحطاب الرُّعيني المالكي ــ رحمه الله ــ:
[ قال ابن عَرفة: وفي “سماع القرينين”: مَن وافق يوم عقيقة ولده يوم الأضحى ولا يملك إلا شاة عق بِها.
ابن رشد: إنْ رجا الأضحية في تالييه، وإلا فالأضحية، لأنَّها آكد، قيل: سُنَّة واجبة، ولم يَقُل في العقيقة.انتهى.
.
2. Kitab Mushonnaf karya Ibnu Abi Syaibah :

قال ابن أبي شيبة ــ رحمه الله ــ في “مصنفه” (24267):
حدثنا عثمان بن مطر، عن هشام، عن الحسن، قال: (( إِذَا ضَحَّوْا عَنِ الْغُلَامِ فَقَدْ أَجْزَأَتْ عَنْهُ مِنَ الْعَقِيقَةِ )).
وفي إسناده عثمان بن مطر، وهو ضعيف، ورواية هشام عن الحسن فيها كلام.
.
وله طريق آخر:
فقال عبد الرزاق ــ رحمه الله ــ في “مصنفه” (7966):
عن مَعمر، عن رجل، عن الحسن، قال: (( وَإِذَا ضُحِّيَ عَنْهُ أَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ مِنَ الْعَقِيقَةِ )).
وفي إسناده راو لم يُسم.
.
ــ قال ابن أبي شيبة ــ رحمه الله ــ في “مصنفه” (24268):
حدثنا وكيع، عن سفيان، عن هشام وابن سيرين، قالا: (( يُجْزِئُ عَنْهُ الْأُضْحِيَّةُ مِنَ الْعَقِيقَةِ )).
وإسناده صحيح.
.
قال عبد الرزاق ــ رحمه الله ــ في “مصنفه” (7967):
عن مَعمر، عن قتادة، قال: (( مَنْ لَمْ يُعَقَّ عَنْهُ أَجْزَأَتْهُ أُضْحِيَتُهُ )).
وإسناده صحيح.
وقال ابن أبي شيبة ــ رحمه الله ــ في “مصنفه” (24269):
حدثنا عثمان بن مطر، عن سعيد، عن قتادة، قال: (( لَا تُجْزِئُ عَنْهُ حَتَّى يُعَقَّ عَنْهُ )).
وإسناده ضعيف، لأجل عثمان بن مطر، ويقويه ما قبله.
.
3. Tuhfatul Mauduud bi Ahkaamil Mauluud karya Ibnu Qayyim Al Jauziyyah :
.
قال الإمام ابن قيم الجوزية ــ رحمه الله ــ في كتابه “تحفة المودود بأحكام المولود” (ص:126):
قال الخلال: “باب ما رُوي أنَّ الأضحية تُجزئ عن العقيقة”
أخبرنا عبد الملك الميموني، أنَّه قال لأبي عبد الله:
“يجوز أنْ يُضحَّى عن الصَّبي مكان العقيقة؟.
قال: لا أدري، ثم قال: غير واحد يقول به، قلت: مِن التابعين؟ قال نعم”.
وأخبرني عبد الملك في موضع آخَر، قال ذَكر أبو عبد الله أنَّ بعضهم قال: (( فإنْ ضَحَّى أجزأ عن العقيقة )).
وأخبرنا عصمة بن عصام، حدثنا حنبل: أنَّ أبا عبد الله قال:
“أرجو أنْ تُجزئ الأضحية عن العقيقة ــ إنْ شاء الله تعالى ــ لِمَن لم يَعق”.
وأخبرني عصمة بن عصام في موضع آخَر، قال: حدثنا حنبل: أنَّ أبا عبد الله قال:
“فإنْ ضحَّى عنه أجزأت عنه الضحية مِن العقوق”.
قال: “ورأيت أبا عبد الله اشترى أضحية ذبحها عنه وعن أهله، وكان ابنه عبد الله صغيرًا فذبحها، أُرَاه أراد بذلك العقيقة والأضحية، وقسم اللحم، وأكل مِنها “.انتهى.
4. Nihayatul Muhtaaj
.
جاء في كتاب “نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج” (8/ 145) للفقيه شمس الدين الرَّملي الشافعي ــ رحمه الله ــ:
“ولو نوى بالشاة المذبوحة الأضحية والعقيقة حصلا، خلافًا لِمَن زعم خلافه”.اهـ
.
5 Tausyikh karya Syekh Nawawi al-Bantani:

قال ابن حجر لو أراد بالشاة الواحدة الأضحية والعقيقة لم يكف خلافا للعلامة الرملى حيث قال ولو نوى بالشاة المذبوحة الأضحية والعقيقة حصلا
.
Untuk pembagian daging pada kasus kurban nadzar maka harus (wajib) dibagikan dalam keadaan mentah kepada para fakir miskin, karena maksud dari kurban adalah untuk tamlik (memberikan kepemilikan), namun pada kasus kurban sunah (bukan kurban nadzar), maka hanya sebagian daging saja yg wajib diberikan kepada fakir miskin dalam keadaan mentah sedang sisanya boleh dibagikan untuk selain fakir miskin dan boleh dalam keadaan matang/sudah dimasak.

Daging aqiqah, yg afdlol diberikan dalam bentuk sudah dimasak, karena  maksud dari aqiqah asalnya adalah untuk hidangan, namun apabila diberikan dalam bentuk daging mentah, maka hukumnya boleh saja.

Referensi :
1. I'aanatut Thaalibiin: Juz 2 hal. 333

ويجب التصدق ولو على فقير واحد بشيء نيئا ولو يسيرا من المتطوع بها والأفضل التصدق بكله إلا لقما يتبرك بأكلها وأن تكون من الكبد وأن لا يأكل فوق ثلاث والتصدق بجلدها وله إطعام أغنياء لا تمليكهم ويسن أن يذبح الرجل بنفسه ( وقوله نيئا ) أي ليتصرف فيه المسكين بما شاء من بيع وغيره فلا يكفي جعله طعاما ودعاء الفقير إليه لأن حقه في تملكه لا في أكله
.
2. I'aanatuth Thaalibiin juz 2 hal. 336

والتصدق بمطبوخ يبعثه إلى الفقراء أحب من ندائهم إليها ومن التصدق نيئا
( وقوله ومن التصدق نيئا ) أي وأحب من التصدق بها نيئا
.
Jawaban pertanyaan kedua :

Hukum memotong-motong tulang hewan aqiqah yang telah disembelih diperselisihkan oleh para ulama', yaitu :

1. Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali disunatkan untuk tidak memotong-motong tulang hewan sembelihan aqiqah. Hikmahnya adalah karena tafaa-ul (mengharapkan kebaikan) agar anak yang diaqiqahi kelak bisa selamat/sehat tulang-tulang tubuhnya (terhindar dari penyakit/patah tulang). Diantara dalilnya adalah riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha;

يُطْبَخُ جُدُولًا، وَلَا يُكْسَرُ مِنْهَا عَظْمٌ
.
“(Daging aqiqah itu) dimasak sepenggal-penggal, dan tulangnya tidak dipecah”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, No.24263)

Dan apabila hal itu dilakukan hukumnya tidak makruh, tapi khilaful aula (menyelisihi yang lebih utama).

Namun di dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin terdapat keterangan pendapat dari sebagian ulama tentang ketidakmakruhan memecah tulang binatang sembelihan tsb karena tafaa-ul bahwa anak yang diaqiqahi kelak akan menghancurkan tulang-tulang ahli kesyirikan dan ahli bid'ah.

2. Menurut madzhab Maliki, tulang tersebut boleh dipotong-potong atau dibiarkan utuh. Imam Malik dalam “Al-Muwaththo’” menjelaskan bahwa aqiqoh itu seperti halnya qurban, karena itu diperbolehkan memotong-motong tulangnya. Pendapat ini juga didukung oleh Imam Ibnu Hazm, pemuka ulama’ madzhab zhohiri, beliau menjelaskan, tidak ada satu pun hadits yang shahih yang bisa dijadikan dalil mengenai pelarangan hal tersebut, termasuk riwayat dari sayyidah Aisyah r.a. diatas.

Kesimpulan :
Hukum memotong-motong tulang tulang hewan aqiqah itu diperselisihkan oleh para ulama’, ada yang menyatakan sunah untuk tidak dipotong-potong dan ada yang menyatakan diperbolehkan dipotong-potong. Wallahu a’lam.

Referensi:
1. Al-Muhadzdzab, 1/439  (Madzhab Syafi’i)

والمستحب أن يفصل أعضاءها ولا يكسر عظمها لما روي عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت: السنة شاتان مكافئتان عن الغلام وعن الجارية شاة تطبخ جدولاً ولا يكسر عظم
.
2. Tuhfatul Muhtaj, 9/372

ولا يكسر عظم) تفاؤلا بسلامة أعضاء المولود فإن فعل لم يكره لكنه خلاف الأولى
.
3. Al-Mughni, 13/172 (Madzhab Hanbali)

ويستحب أن تفصل أعضاؤها ولا تكسر عظامها لما روي عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت: السنة شاتان مكافئتان عن الغلام وعن الجارية شاة تطبخ جدولا ولا يكسر عظم
.
4. Bughyatul Mustarsyidin hal. 319

وبحث بعض علمائنا من الأولياء عدم كراهة تكسير عظام العقيقة تفاؤلا بأن المولود يكسر عظام أهل الشرك والبدعة
.
5. At-Taj Wal-Iklil, 4/393 (Madzhab Maliki)

وجاز كسر عظمها) في الموطأ: العقيقة بمنزلة الضحايا وتكسر عظامها
.
6. Al-Muhalla, 7/523

وَلَا بَأْسَ بِكَسْرِ عِظَامِهَا . . . وَلَمْ يَصِحَّ فِي الْمَنْعِ مِنْ كَسْرِ عِظَامِهَا شَيْءٌ . فَإِنْ قِيلَ : قَدْ رَوَيْتُمْ { عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ وَقَدْ قِيلَ لَهَا فِي الْعَقِيقَةِ بِجَزُورٍ , فَقَالَتْ : لَا , بَلْ السُّنَّةُ أَفْضَلُ , عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ , وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ تُقْطَعُ جُدُولًا وَلَا يُكْسَرُ لَهَا عَظْمٌ فَيَأْكُلُ وَيُطْعِمُ وَيَتَصَدَّقُ , وَلْيَكُنْ ذَلِكَ يَوْمَ السَّابِعِ , فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي أَرْبَعَةَ عَشَرَ , فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي إحْدَى وَعِشْرِينَ } . قُلْنَا : هَذَا لَا يَصِحُّ ; لِأَنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ الْعَرْزَمِيِّ
.
Wallahu a'lam...

Dody elhasyimi