Selasa, 22 September 2015

Dusta atas nama Imam Syafi'i


WAHABI BERDUSTA ATAS NAMA IMAM SYAFI’I UNTUK MENCELA AJARAN TASHAWWUF

Beraninya mereka berdusta atas nama imam Syafi’i untuk mencela ajaran tasawwuf yang mereka anggap sesat. Hanya bermodalkan taqlid buta pada orang-orang yang mereka anggap paling benar dan bermodalkan ilmu yang pas-pasan.
Mereka mencela ajaran tasawwuf dengan mencomot kalam imam Syafi’I yang mereka anggap bahwa imam Syafi’I juga mencela ajaran tasawwuf dan para penganutnya, tanpa mau mempelajari makna yang sebenarnya.

Mereka membawakan kalam imam Syafi’I sebagai berikut :
Pertama :
روى البيهقي في "مناقب الشافعي" عن يونس بن عبد الأعلى يقول: سمعت الشافعي يقول: لو أن رجلاً تصوَّف من أول النهار لم يأت عليه الظهر إلا وجدته أحمق.
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu meriwayatkan di dalam kitabnya Manaqib asy-Syafi’I dari Yunus bin Abdul A’la, aku mendengar imam Syafi’I berkata: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.”

Kedua :
وعنه أيضا أنه قال ما لزم أحد الصوفية أربعين يوما فعاد عقله إليه أبدا
Dari imam Syafi’I juga, bahwasanya beliau berkata “Seorang yang telah bersama kaum shufiyah selama 40 hari, tidak mungkin kembali akalnya selama-lamanya.”

Benarkah imam Syafi’i seperti apa yang mereka katakan ??

Jawaban :
Pertama : Khobar pertama di dalam sanadnya oleh para ulama masih diperselisihkan artinya tidak tsiqah. Dalam periwayatan lainnya menggunakan kalimat “Lau laa” (seandainya tidak).

Dalam kitab Hilyatul Aulia disebutkan sbgai berikut :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، حدَّثَنِي أَبُو الْحَسَنِ بْنُ الْقَتَّاتِ ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَحْيَى ، ثنا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، قَالَ : سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ ، يَقُولُ : " لَوْلا أَنَّ رَجُلا عَاقِلا تَصَوَّفَ ، لَمْ يَأْتِ الظُّهْرَ حَتَّى يَصِيرَ أَحْمَقَ "
“ Seandainya orang yang berakal tidak bertasawwuf, maka belum sampai dhuhur, ia akan menjadi dungu “

Sanad periwayatan ini muttasil dari pengarang kitab Hiltyatul Aulia hingga sampai pada imam Syafi'i dan lebih kuat karena menggunakan shighah tahdits / sama’ (lambing periwayatan yang didengarkan secara langsung secara estafet).
Kedua ; Mereka menukil ucapan imam Syafi’I tersebut dengan bodoh terhadap makna yang sebenarnya.Benarkah itu sebuah celaan terhadap ajaran tasawwuf ??
Makna yang sesungguhnya adalah :
“ Tidaklah seseorang belajar tasawwuf tanpa didahului ilmu fiqih, maka tidaklah datang waktu dhuhur maksudnya waktu sholat, kecuali dia dalam keadaan dungu yakni dalam keadaan bodoh, dia tidak mengerti bagaimana beribadah dengan Tuhannya “.

Makna seperti ini sesuai dengan kalam para ulama lainnya seperti imam Sirri As-Saqothi yang berkata kepada imam Junaid dan disebutkan oleh al-Hafidz Abu Thalib Al-Makki dalam kitabnya Qutul Qulub sebagai berikut :

“ Imam Sirri as-Saqothi berkata pada imam Junaid “ Jika kau berpisah dariku, siapakah yang kau duduk bersamanya ? Imam Junaid menjawab “ Al-Harist al-Muhasibi “. Imam Sirri berkata “ Benar, ambillah ilmu dan adabnya, dan tinggalkan kalam lembutnya “. Imam Junaid berkata “ Ketika aku hendak pergi aku mendengar beliau berkata :

جعلك اللّه صاحب حديث صوفياً ولا جعلك صوفياً صاحب حديث
“ Semoga Allah menjadikanmu ahli hadits yang bertasawwuf dan tidak menjadikanmu ahli tasawwuf yang pandai hadits “.

Ketiga ; Mereka menukil ucapan imam Syafi’I tersebut dari imam Baihaqi dalam kitabnya Manaqib Asy-Syafi’i. Seandainya mereka mau jujur, maka mereka seharusnya juga menampilkan kalam imam Baihaqi terhadap kalam imam Syafi’I tersebut dan tidak membuangnya. Namun karena tujuan mereka untuk mengelabui umat dari makna yang sebenarnya, mereka tak lagi peduli pada kejujuran dan amanat. Fa laa haula wa laa quwwata illa billah..

Berikut komentar beliau setelah menampilkan kalam imam Syafi'i tsb dalam kitab beliau Manaqib Asy-Syafi'i juz 2 halaman 207 :

قلت : وإنما أراد به من دخل في الصوفية واكتفى بالاسم عن المعنى، وبالرسم عن الحقيقة، وقعد عن الكسب، وألقى مؤنته على المسلمين، ولم يبال بهم، ولم يرع حقوقهم ولم يشتغل بعلم ولا عبادة، كما وصفهم في موضع آخر
" Aku katakan (Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut): ” Sesungguhnya yang imam Syafi'i maksud adalah orang yang masuk dalam shufi namun hanya cukup dengan nama bukan dengan makna (pengamalan), merasa cukup dengan simbol dan melupakan hakekat shufi, malas bekerja, membebankan nafkah pada kaum muslimin tapi tidak peduli dgn mereka, tidak menjaga haq-haq mereka, tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau menyifai hal ini di tempat yang lainnya. "
(Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Inilah yang dimaksud oleh imam Syafi'i, maka jelas bahwa beliau tidak mencela ajaran tasawwuf dan penganutnya.

Dan cukup kalam imam Syafi’i berikut ini dalam bentuk bait syi’ir untuk membungkam hujjah mereka :

فقيهاً وصوفياً فكن ليس واحدا فإنــي وحـق الله إيـاك أنصح
فذلك قاس لم يذق قلبه تقــى وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح
“ Jadilah kamu seorang ahli fiqih yang bertasawwuf jangan jadi salah satunya, sungguh dengan haq Allah aku menasehatimu.
Jika kamu menjadi ahli fiqih saja, maka hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya taqwa. Dan jka kamu menjadi yang kedua saja, maka sungguh dia orang teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan menjadi baik “.
(Diwan imam Syafi’i halaman : 19)

وعنه أيضا أنه قال ما لزم أحد الصوفية أربعين يوما فعاد عقله إليه أبدا
Dari imam Syafi’I juga, bahwasanya beliau berkata “Seorang yang telah bersama kaum shufiyah selama 40 hari, tidak mungkin kembali akalnya selama-lamanya.”

Jawaban :

Pertama ; Ibnul Jauzi tidak menyebutkan sanad periwayatan khobar ini, maka hal ini masih syubhat.
Kedua ; Makna kalam imam Syafi’I seandainya shahih, bukanlah seperti apa yang mereka asumsikan. Tidak mungkin beliau mengatakan hal itu sebab kita tahu bahkan imam Syafi’I sendiri pernah bergaul dengan ulama shufi selama 10 tahun dan kisah inipun juga dinukil oleh mereka :

صحبت الصوفية عشر سنين, فلم استفد منهم سوى حرفين وفي رواية : سوى ثلاث كلمات : الوقت سيف إن لم تقطعه قطعك , ونفسك إن لم تشغلها بالحق شغلتك بالباطل ، والعدم عصمة وفى رواية : العصمة أن لا تجد. نقله الحافظ السيوطي وغيره
“ Aku berteman dengan para shufi selama sepuluh tahun dan aku tidak mendapatkan faedah kecuali dua kalimat, dalam riwayat lain tiga kalimat yaitu Waktu adalah pedang jika kaum tidak memutusnya maka waktu itu yang akan memutusmu, jiawamu jika tidak disibukkan dengan kebenaran, maka ia akan disibukkan dengan bathil dan ketidak adaan adalah sebuah penjagaan. Dalam riwayat lain penjagaan itu adalah kamu tidak mendapatinya “ (Dinukil oleh al-Hafidz as-Suyuthi)

Imam Syafi’I bergaul dengan oran-orang shufi selama sepuluh tahun lamanya, lalu beliau mengatakan tidak akan waras akal seseorang jika berteman dengan ulama tasawwuf selama empat puluh hari.

Apakah ini logis? Apakah imam Syafi’I akalnya tidak kembali alias tidak waras karena sudah bergaul dengan para shufi selama sepuluh tahun ? bahkan murid beliau Yunus bin Abdul A’la bergaul dengan kaum shufi selama tiga puluh tahun.
Atau apakah anda akan mengatakan bahwa imam Syafi’i tidak konsisten dengan ucapannya ?? Hasyaa wa kallaa..

Dan perhatikan komentar Ibnu Al-Qoyyim berikut terhadap kalam imam syafi’i :
قال الشافعي رضي الله عنه : صحبت الصوفية فما انتفعت منهم إلا بكلمتين سمعتهم يقولون الوقت سيف فإن قطعته وإلا قطعك ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل . قلت - أي ابن القيم - : يا لهما من كلمتين ما أنفعهما وأجمعهما وأدلهما على علو همة قائلهما ويقظته ويكفي في هذا ثناء الشافعي على طائفة هذا قدر كلماتهم
" Imam Syafi'i berkata " Aku berteman dgn kaum shufi dan tidaklah aku mendapat MANFA'AT dari mereka kecuali dua kalimat yang aku dengar dari mereka yaitu " Waktu itu adalah pedang jika kamu mampu memutusnya, jika tidak maka waktu itu yang akan memutusmu. Dan nafsumu jika tidak disibukkan dengan kebenaran, maka akan disibukkan dengan kebathilan ".

Aku katakan (Ibnul qoyyim) : " Aduhai sangatlah manfaat dan mencangkup dua kalimat tsb dan sangat menunjukkan atas tingginya semangat dan ketajaman pikiran org yang mengatakan dua kalimat tsb, dan cukuplah hal ini sebagai pujian imam Syafi'i pada mereka..." (Madarij As-Salikin juz 3 hal; 129)

Ketiga ; Makna kalam imam Syafi’i tersebut adalah :
- Makna pertama, akal dalam kalam beliau adalah bermakna ihtibas (penahanan), artinya “ Barangsiapa yang melazimi tasawwuf selama empat puluh hari, maka hati dan lisannya tidak akan menahan hikmah yang muncul “.
Makna seperti ini sesuai dengan hadits Nabi Saw berikut :

من أخلص لله العبادة أربعين يوما ظهرت ينابيع الحكمة من قلبه على لسانه
“ Barangsiapa yang berusaha ikhlas kepada Allah dalam beribadah selama empat puluh hari, maka akan tampak baginya curahan-curahan hikmah dari hatinya atas lisannya “

Imam Syafi’i menetapkan bilangan empat puluh hari karena menyesuaikan dengan hadits tersebut.

- Makna kedua, yang dimaksud akal oleh beliau adalah tipu muslihat dan ini merupakan cabang dari sifat kemunafikan. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Saw berikut :

من صلى لله أربعين يوما في جماعه يدرك التكبيرة الأولى ، كتبت له برائتان : براءه من النار ، وبراءه من النفاق
“ Barangsiapa yang sholat karena Allah Swt selama empat puluh hari dan selalu mendapati takbiratul ihram bersama imam, maka ditulis baginya dua kebebasan, bebas dari neraka dan bebas dari sifat kemunafikan “.

Dengan ini semakin jelas kenapa imam Syafi’i menetapkan jumlah empat puluh. Dan semakin jelas pula penipuan wahhabi salafi pada umat muslim.

========================================================

Berbagai cara dan strategi busuk mereka lakukan untuk menyerang ajaran yang dipegang teguh oleh mayoritas umat Muslim ini, umat yang selalu mengedepankan sikap damai, kasih sayang dan toleransi, umat muslim Ahlus sunnah waljama’ah.
Mulai dari mencela para ulama salaf maupun ulama besar sesudahnya seolah mereka ingin menunjukkan bahwa para ulama kita dalam kesalahan, sesat atau pun kata busuk lainnya dengan hanya bermodal taqlid pada ulama mereka yang kapasitas keilmuannya sangat jauh dibandingkan para ulama yang mereka cela. Merubah-rubah atau memotong, mengurangi atau menambahi naskah kitab-kitab clasik, membeli naskah dengan biaya yang begitu tinggi untuk kemudian dicetak dengan banyak perubahan pada naskahnya, bertujuan agar umat tertipu dengan membacanya.

Dan strategi inilah yang paling banyak mereka lakukan dan lebih diutamakan, sehingga mereka mampu mengumpulkan begitu banyak naskah dan mereka kumpulkan dalam satu wadah technologi canggih agar lebih praktis digunakan namun pastinya sudah banyak perubahan, distorsi, pengurangan ataupun penambahan yang tak sepantasnya ada.

Dan juga agar para generasi muda kita terutama kalangan santri, siswa dan pelajar mudah ditipu dan dipengaruhinya, belakangan dikenal dengan istilah Kitab Listrik, ya jika seandainya listrik padam, maka hilanglah kitab mereka, hilanglah ilmu mereka, hilanglah hujjah mereka. Memang hal ini cukup bermanfaat namun tak menepis kemungkinan bahaya pengaruh bagi pemula yang tidak mendalami dasar-dasar ajaran Ahlus sunnah waljama’ah..

Kemudian mereka mulai membuat program tarjih bagi para pelajar, di mana mereka diberi keluasan untuk mengkritiki pendapat para ulama, mencermati dan mencari celah perbedaan yang terjadi pada imam madzhab dan para ulama pengikutnya dengan pembahasan mendalam, penuh cacian pada ulama yang mereka kritiki kemudian mereka ambil pendapat yang menurut mereka paling rajah atau kuat.

Hanya bermodalkan ilmu yang pas-pasan dan itu pun bukan dengan hasil kajian murni mereka, namun mereka masih taqlid pada ulama yang mentarjihnya. Seenaknya mereka mencaci ulama, mengkritiki ulama yang sungguh kredibilitasnya tidak diragukan lagi, mencomot pendapat sana-sini tanpa sikap proposionalisme, dan sungguh padahal keilmuan mereka tak ada sekecil kuku jari kelingking para ulama yang mereka kritki. Mereka tak hafal Quran, tak hafal ribuan hadits, tak memguasai ilmu alat, nahwu, shorof, balaghah, ma’ani, badhi’, nashk manskhuh, ilmu qiroaat, ilmu ushul fiqih, mustholah hadits, ushul tafsir, ulumul quran dan ilmu lainnya. Maka tanpa sadar atau tidak, mereka telah diajarkan untuk tidak menghormati para ulama pendahulu mereka.

Diajarkan untuk tidak memiliki prinsip, tak jelas dan dalam kebimbangan.
Saat ini mereka gencar melakukan penilaian negative pada para ulama pengikut madzhab dengan alasan studi kritis atau jarh wa ta’dil yang sungguh tak layak bagi mereka menyebutkan istilah-istilah ini, seoalah mereka memiliki ilmu lebih untuk mengkritiki para ulama sebelumnya, seolah mereka mengganggap diri mereka para ulama mujaddid yang berusaha memperbaharui metode para ulama sebelumnya.
Mereka berusaha keras memberi penilaian kritis atas ikhtilaf yang terjadi di antara para ulama madzhab, menggambarkan dan menjelaskan dengan penjelasan penuh paksaan seolah ingin member tahu pada para pengikut ulama madzhab tersebut bahwa ikhtilaf tersebut adalah ikhtilaf perseteruan, permusuhan dan bahkan saling caci memaki.

Maka dengan ini sebenarnya mereka telah menuduh para ualam tersebut dengan tuduhan keji dan memfitnah para ulama yang berikhtilaf seolah para ulama tersebut tak memahami ilmu adab, tak memahami ilmu akhlak tak memahami toleransi, tak memahami ilmu Ihsan, padahal justru ikhitlaf (perbedaan) mereka adalah sebuah ijtihad yang mendapat rekomendasi dari Rasulullah Saw. Sungguh tuduhan dan fitnahan yang langit, bumi dan gunung tak mampu memikulnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar